Seperti ibadah-ibadah lainnya, shalat jum’at memiliki beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Sekiranya tidak terpenuhi, maka shalat jum’at dihukumi tidak sah. Berikut ini adalah syarat-syarat sah pelaksanaan shalat jum’at:
Pertama, shalat jum’at dan kedua kutbahnya dilakukan di waktu zhuhur. Hal ini berdasarkan hadits:
 |
| Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jum’at (Sumber Gambar : Nu Online) |
Enam Syarat Sah Pelaksanaan Shalat Jum’at
? ? ? ? ? ? ?PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah
“Sesungguhnya Nabi Saw melakukan shalat jum’at saat matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR.al-Bukhari dari sahabat Anas).
Maka tidak sah melakukan shalat jum’at atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melakukan shalat jum’at, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan jum’at menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?“Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melakukan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat jum’at, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri,
Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal.236)
Kedua, dilaksanakan di area pemukiman warga.
Shalat jum’at wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan jum’at tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?“Jum’at tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka jum’at tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”. (al-Ghazali,
al-Wasith, juz.2, hal.263, [Kairo: Dar al-Salam], cetakan ketiga tahun 2012).
(Baca juga: Shalat Jum’at di Perkantoran)Ketiga, rakaat pertama jum’at harus dilasanakan secaraberjamaah.
Minimal pelaksanaan jamaah shalat jum’at adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah jum’at niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan jum’atnya sendiri-sendiri, maka shalat jum’at dinyatakan sah.
Keempat, jamaah shalat jum’at adalah orang-orang yang wajib menjalankan jum’at.
Jamaah jum’at yang mengesahkan jum’at adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan jum’at. Sementara jumlah standart jamaah jum’at adalah 40 orang menghitung Imam menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?“Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan jum’at dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).
Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan jum’at yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan jum’at, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan jum’at.
Kelima, tidak didahului atau berbarengan dengan jum’at lain dalam satu desa
Dalam satu daerah, shalat jum’at hanya boleh dilakukan satu kali. Oleh karenanya, bila terdapat dua jum’atan dalam satu desa, maka yang sah adalah jum’atan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan jum’atan kedua tidak sah. Dan apabila takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua jum’atan tersebut tidak sah.
Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah jum’at dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua jum’atan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.
Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?“Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah jum’at yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan jum’at adakalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha,
Jam’u al-Risalatain, hal.4).
(Baca: Dua Shalat Jum’at dalam Satu Komplek)Keenam, didahului kedua khutbah.
Sebelum shalat jum’at dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?“Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri kemudian duduk, kemudian berdiri lagi melanjutkan khutbahnya”. (HR. Muslim).
(Baca: Kenapa Khutbah Jumat Didahulukan Dibanding Shalatnya?)Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalankan shalat jum’at. Semoga bermanfaat.
(M. Mubasysyarum Bih)Dari Nu Online:
nu.or.idPP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtsul Masail, News, Humor Islam PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah