Senin, 16 Oktober 2017

Kisah Pertengkaran Dua Pria Zuhud

Raja Kisra yang terkenal adil suatu kali harus menyelesaikan kasus “aneh” dua pria yang sedang bersengketa. Dikatakan aneh karena keduanya berselisih bukan karena sedang berebut kekayaan, melainkan sebaliknya: berebut saling menolak kekayaan.

Kisah persengketaan keduannya dimulai ketika seorang pria membeli rumah dari pria lainnya. Tanpa dinyana, di dalam rumah itu terdapat harta simpanan. Si pembeli yang merasa hanya membeli bangunan rumah (bukan sekaligus isinya) pun menemui penjual dan berniat mengembalikan harta yang ia nilai bukan haknya.

Kisah Pertengkaran Dua Pria Zuhud (Sumber Gambar : Nu Online)
Kisah Pertengkaran Dua Pria Zuhud (Sumber Gambar : Nu Online)

Kisah Pertengkaran Dua Pria Zuhud

“Saya menjual rumah, dan tak tahu kalau ada harta simpanan di dalamnya. Harta ini berarti milikmu,” si penjual rumah menanggapi.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Si pembeli pun berontak, “Kamu harus mengambil harta ini karena memang di luar barang yang seharusnya saya beli (yakni rumah).”

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari sini, perdebatan saling menolak klaim kepemilikan harta berlangsung panjang. Hingga akhirnya kasus sampai ke tangan Raja Kisra untuk mendapat penyelesaian hukum secara adil.

Setelah mendengarkan kronologi masalah, Kisra bertanya, “Apakah kalian memiliki anak?”

“Hamba punya anak laki-laki dewasa,” jawab si penjual rumah.

“Hamba punya anak perempuan dewasa,” tutur si pembeli rumah.

“Saya perintahkan kalian saling menjodohkan anak-anak kalian, sehingga terbangunlah hubungan kekerabatan. Selanjutnya, infakkan harta yang kalian perselisihkan itu kepada sepasang pengantin ini untuk kemaslahatan keluarga mereka,” instruksi Raja Kisra. Perintah ini dilaksanakan dan persengketaan aneh itu pun selesai tanpa menyisakan masalah.

Kisah ini termaktub dalam kitab An-Nawâdir karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi. Drama tersebut menampilkan campuran antara kezuhudan, infak, dan kecerdikan dalam memutuskan perkara.

Persengketaan dua pria tersebut seolah menyindir sikap orang kebanyakan yang lazimnya mencintai kekayaan. Dengan cara yang sama-sama mudah, sebetulnya salah satu dari kedua orang itu bisa mendapatkan sebuah keuntungan. Namun, sikap zuhud mereka mengubah perkara yang “semestinya sederhana” tampak kian runyam. Karena sangat berhati-hati, mereka berebut tidak mau mengklaim kekayaan yang bagi mereka masih abu-abu status hukumnya.

Meski bentuk kasus berbeda, persoalan yang mirip dengan cerita di atas kerap kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Namun, apakah seseorang bisa bersikap selayak kedua pria zuhud itu atau tidak, kembali kepada pribadi masing-masing dalam memaknai hakikat kekayaan dan hidup yang fana ini. (Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahlussunnah, Makam, Syariah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mbah Mahfudh, Kiai Sahal dan Fort Willem I

Tidak banyak orang yang mengenal sosok Kiai Mahfudh, ayahanda Kiai Sahal Mahfudh. Kisah hidup Kiai Mahfudh sayup-sayup terdengar, selain beliau wafat pada usia muda, juga saksi hidup yang mampu menceritakan kisah hidup beliau susah ditemukan. Meski demikian, kisah-kisah lisan tentang sepak terjang Kiai Mahfudh menjadi cerita menarik bagi santri-santri di kawasan Kajen.

Kiai Mahfudh merupakan putra dari Kiai Abdussalam, yang silsilahnya sampai ke Syekh Mutamakkin, lewat Mbah Hendrokusumo. Kiai Mahfudh merupakan saudara dari Kiai Abdullah Zeyn Salam (Mbah Dullah). Dalam sebuah kisah, Mbah Mahfudh merupakan kiai, pejuang dan santri yang cerdas. Ia memahami turats secara mendalam, menguasai ilmu-ilmu politik-intelijen dan hafidzul quran. Ketika mengantar adiknya, Kiai Abdullah Salam mondok mengaji kepada Kiai Said, Pamekasan Madura, Mbah Mahfudh ikut menemani adiknya selama dua minggu. Hal ini dilakukan untuk menghibur dan menjaga adiknya agar kerasan mondok. Selama proses menemani adiknya itu, Mbah Mahfudh sambil menghafal Al-Qur’an dan khatam dalam waktu hanya dua minggu.

Mbah Mahfudh, Kiai Sahal dan Fort Willem I (Sumber Gambar : Nu Online)
Mbah Mahfudh, Kiai Sahal dan Fort Willem I (Sumber Gambar : Nu Online)

Mbah Mahfudh, Kiai Sahal dan Fort Willem I

Kiai Mahfudh dilahirkan sekitar tahun 1900-an. Belum ada data akurat yang dapat diakses untuk menjadi tonggak kelahiran, ayahanda Kiai Sahal. Mbah Mahfudh merupakan putra dari Kiai Salam bin Ismail, dan ibundanya bernama Nyi Mirah. Beliau merupakan putra ketiga dari empat saudara. Pada masa kecil, Kiai Mahfudh belajar mengaji kepada ayahandanya, Kiai Salam, yang merupakan ulama terkemuka di kawasan lereng Muria. Pada waktu itu, pesantren sebagai institusi pendidikan belum didirikan secara formal, hanya majelis-majelis mengaji di rumah kiai, musholla dan masjid. Masjid Kajen, yang menjadi warisan arkeologis dan situs Islam, peninggalan Syekh Mutamakkin menjadi referensi kegiatan keagamaan di kawasan Kajen. Perguruan Islam Mathaliul Falah, baru didirikan pada 1912. Mengiringi beberapa pesantren tua lainnya, semisal Tebu Ireng (didirikan Syekh Hasyim Asyari pada 1899, di Jombang), pesantren Lirboyo (oleh Mbah Manaf/KH. Abdul Karim, pada 1910 di Kediri), pesantren Krapyak di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Munawir pada 1910.

Mathaliul Falah, dengan demikian menjadi titik episentrum pendidikan dan kawah candradimuka santri-santri serta masyarakat Kajen, yang kemudian disusul oleh pesantren-pesantren lainnya, semisal Salafiyyah, yang menandai kawasan Kulon Banon dan Wetan Banon, dalam historiografi keislaman di Kajen.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mbah Mahfudh berperan penting dalam proses pendidikan Kiai Sahal, terutama pembentukan karakter dan wawasan kebangsaan. Kiai Sahal mengungkapkan—dalam kisah yang dituturkan Neng Tutik Nurul Jannah (2014) bahwa ayahandanya, Kiai Mahfudh sebenarnya menjalankan strategi diplomasi politik dengan Belanda. Ketika masih kecil, Kiai Sahal sering melihat tamu-tamu pembesar Belanda datang ke rumah ayahandanya, untuk berdiskusi dan terlibat perbicangan membahas masalah politik maupun keagamaan. Kiai Mahfudh berbicara dengan tamu Belanda, menggunakan bahasa Melayu—bahasa yang belum banyak dipakai orang pribumi Jawa masa itu. Uniknya, Mbah Mahfudh belajar bahasa Melayu dari para santrinya. Beliau, acapkali mengundang santrinya untuk membaca koran berbahasa Melayu, hingga mengerti maksud dan ungkapan-ungkapannya. Inilah, metode belajar dari Kiai Mahfudh untuk mengakses jendela pengetahuan dan pergerakan nasional masa itu.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Beberapa kali orang Belanda datang ke rumah, dan diterima dengan baik oleh Bapak", ungkap Kiai Sahal, sebagaimana dikisahkan oleh Tutik Nurul Jannah.

Lalu, apa sebenarnya yang melatar belakangi diplomasi politik Mbah Mahfudh dengan mendekati bahkan bekerjasama dengan pembesar Belanda? Tidak lain dan tidak bukan, adalah motivasi politik. Inilah strategi ala pesantren, yang mampu luwes dalam melihat gelombang politik kolonial, dengan melihat dari dekat kekuatan lawan. Persis, ketika Gus Dur mendekati Benny Moerdani untuk melihat dan memetakan kekuatan politik Orde Baru, strategi intel-militer serta jaringan murid-murid Pater Beek yang bergerak pasca peristiwa 1965.

Kiai Wahab Chasbullah, mengingatkan: "kalau ingin keras, harus punya keris". Maksudnya, strategi politik yang canggih dengan melawan secara frontal atau melawan dengan lembut, harus dimulai dulu dengan mengukur kekuatan diri sendiri sekaligus memetakan kekuatan lawan. Inilah, yang sering diungkap oleh arsitek militer dan pakar strategi Tiongkok, Tsun Zu dalam karyanya the Art of War, ?; S?nz? b?ngf?).

Dengan demikian, Kiai Mahfudh berusaha mendekat dengan pejabat Belanda, untuk mengetahui strategi, gerakan hingga kerja-kerja intelijen Belanda (PID, Politie Inlichtingen Dienst dan RID, Regionale Inlichtingen Dienst) yang saat itu bergerak lincah. Selain itu, Kiai Mahfudh juga ingin agar pesantren Mathaliul Falah, tidak dikubur sebelum berkembang oleh rezim kolonial Belanda. "Motivasi politik yang dimaksudkan di sini adalah kebutuhan Belanda untuk berhubungan baik dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki pengaruh kuat di lingkungannya dengan tujuan meredam dan memata-matai tokoh tersebut agar tidak mematik bergolakan di kalangan republik. Di sisi lain, kedekatan ini cukup menguntungkan, terutama bagi keberlangsungan lembaga pendidikan yang dipimpin oleh Kiai Mahfudh, yakni Perguruan Islam Mathaliul Falah" (Jannah, 2014).

Akan tetapi, hubungan retak terjadi antara Kiai Mahfudh dengan birokrat Belanda, ketika munculnya peristiwa pegadaian. Peristiwa ini, ditandai dengan kondisi yang tidak kondusif pada masa itu, dengan banyaknya perampokan dan penjarahan terhadap toko serta pasar. Melihat kondisi ini, dengan latar belakang ekonomi warga muslim di kawasan Pati kelas menengah ke wabah, Kiai Mahfudh menginisiasi dengan memerintahkan santri-santri untuk ikut menjaga pedagadaian, agar asetnya tidak dijarah oleh orang-orang yang tidak berhak dan dirusak oleh amuk massa.

Peristiwa pegadaian terjadi pada kisaran tahun 1940-an. Pada masa itu, politik ekonomi Belanda sedang mengalami pergolakan, terutama menjelang Perang Dunia II. Militer Jepang sedang merangsek untuk memperluas wilayah politik dan keamanan, di kawasan Asia Tenggara. Fondasi ekonomi dan politik kolonial di wilayah Hindia Belanda, terancam dengan ekspansi militer Jepang.

Pada masa itu, pegadaian merupakan salah satu kunci ekonomi di daerah Pati, selain pasar tradisional dan toko-toko kelontong milik pengusaha Tionghoa. Pegadaian, sebenarnya merupakan aset dari pemerintah Hindi Belanda, untuk memberi modal cepat bagi petani dan nelayan. Barang-barang milik petani dan warga kecil, banyak yang disimpan di pegadaian, untuk digadaikan agar mendapat pinjaman uang. Ketika masa panen, biasanya barang di pegadaian diambil kembali oleh pemiliknya—para petani kecil. Langkah Mbah Mahfudh, dengan menginstruksikan santri-santri menjaga pegadaian merupakan strategi jitu, agar barang-barang berharga milik warga kecil terlindungi. Lebih jauh, Mbah Mahfudh juga memberi perintah agar barang-barang di pegadaian dikembalikan kepada pemiliknya, yakni warga miskin dan petani-petani kecil di kawasan Pati. Terang saja, langkah ini membuat pejabat Belanda berang, karena aset mereka diambil oleh santri-santri dan dibagikan kepada penduduk. Pemerintah Belanda mengalami kerugian, apalagi pabrik Gula di P

akis dan Trangkil, masa itu tidak bisa diandalkan hasilnya, karena situasi politik yang tidak stabil.

Aksi Mbah Mahfudh semakin membikin marah Belanda, ketika beliau dengan santri-santrinya menyerang Rumah Sakit Kristen (RSK) di Tayu. Rumah Sakit ini, dianggap sebagai pusat konsolidasi politik dan juga basis kristenisasi di lereng Muria. Dengan menggasak Rumah Sakit Kristen, Mbah Mahfudh setidaknya mendapatkan dua keuntungan, yakni melemahkan basis kekuatan politik Belanda dan mengendurkan moral serdadu Hindia Belanda.

Setelah berjuang melawan kolonial, akhirnya Mbah Mahfudh ditangkap oleh militer Belanda. Beliau kemudian dipenjara, dan dipindah ke penjara Ambarawa, hingga kedatangan militer Jepang. Fort Willem I, merupakan benteng yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, selama 11 tahun, sejak 1834-1845, di bawah kepemimpinan Kolonel Hoorn. Benteng ini, dibangun untuk menghormati Raja pertama Kerajaan Belanda, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau. Bangunan benteng ini, terletak di dekat jalan utama Ambarawa, di perlintasan Semarang-Solo dan Semarang-Yogya. Warga sekitar, mengenal Benteng ini sebagai Benteng Pendem.

Kiai Mahfudh wafat di Fort Willem I, Ambarawa, pada tahun 1944. Perlawanan terhadap kolonial, konsep politik kebangsaan dan diplomasi politik Mbah Mahfudh, sejatinya menjadi telaga inspirasi bagi Kiai Sahal. Ide-ide dan prinsip politik kebangsaan Kiai Sahal, dipengaruhi oleh ayahandanya, sang pejuang kemerdekaan, KH. Mahfudh Salam. [Munawir Aziz]

 

Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, Peneliti di Fiqh Sosial Institute (FISI) IPMAFA Kajen Pati  & Dewan Redaksi Penerbit Mizan, berinteraksi di @MoenawirAziz

–kajian Tutik Nurul Jannah, hasil wawancara dengan Kiai Sahal, pada 20 Oktober 2012, dan 18 Desember 2012, tertuang dalam buku Epistemologi Fiqh Sosial: Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (2014, STAIMAFA Press, editor: Munawir Aziz).

–biografi Kiai Mahfudh dan konteks sejarah hidupnya, masih memerlukan riset lanjutan. Hal ini, karena data yang sangat terbatas untuk mengulas sepak terjang dan perjuangan melawan kolonial yang dilakukan beliau

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pesantren, AlaSantri, Aswaja PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 15 Oktober 2017

Puluhan Ulama Beri Penghormatan Terakhir Bagi Pak Ud

Jombang, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Puluhan ulama dan ribuan pelayan tampak terus berdatangan ke Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, Senin pagi, untuk memberi penghormatan terakhir bagi putra pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, yakni KH Yusuf Hasyim (Pak Ud).

KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban) menjadi imam sholat jenazah ke-42 di Masjid Pesantren Tebuireng, Jombang. Ulama lain yang datang bertakziah antara lain KH Nurul Huda Djazuli (Kediri) dan KH Ali Masyhuri (Gus Ali) dari Tulangan, Sidoarjo, dan Ketua Umum PBNU DR HC KHA Hasyim Muzadi yang sudah datang sejak semalam.

Sementara itu, pengasuh utama Pesantren Tebuireng Ir KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) sudah datang ke Jombang pada Minggu (14/1) pukul 00.00 WIB, namun mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kakak Gus Sholah dan juga keponakan Pak Ud tak bisa datang karena sakit.

Puluhan Ulama Beri Penghormatan Terakhir Bagi Pak Ud (Sumber Gambar : Nu Online)
Puluhan Ulama Beri Penghormatan Terakhir Bagi Pak Ud (Sumber Gambar : Nu Online)

Puluhan Ulama Beri Penghormatan Terakhir Bagi Pak Ud

Dari kalangan pejabat yang melayat antara lain Gubernur Jatim H Imam Utomo pada Minggu (14/1) malam dan Kapolda Jatim Irjen Pol Herman S Sumawiredja pada Senin (15/1) pagi.

Sejumlah karangan bunga juga berdatangan, diantaranya dari mantan Presiden HM Soeharto (Pak Harto) dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Tak Ada Pesan Khusus

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Sholahuddin Wahid atau Gus Sholah, mengaku tidak ada pesan khusus sebelum KH Yusuf Hasyim atau Pak Ud meninggal dunia di RSUD dr Soetomo, Surabaya, Minggu (14/1) malam.

"Secara eksplisit tidak ada pesan khusus dari beliau, hanya yang paling saya ingat adalah kata-kata beliau pada bulan Februari 2006 lalu, bahwa dirinya sudah tua dan sudah saatnya menyerahkan kepemimpinan ponpes ini," kata Gus Sholah usai mengikuti prosesi pemakaman Pak Ud di Tebuireng, Jombang, Senin.

Pada saat itu, Gus Sholah sendiri mengaku kaget dengan pernyataan Pak Ud yang menyerahkan tampuk kepengasuhan Ponpes kepadanya secara tiba-tiba itu. "Saat itu saya tidak banyak diberi kesempatan bertanya karena beliau hanya mengatakan, kamulah yang pantas memegang pondok ini," ujar Gus Sholah menambahkan.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Setelah secara resmi menyerahkan tampuk pengasuh Ponpes Tebuireng kepada Gus Sholah pada bulan Juni 2006, Pak Ud sudah tidak lagi tinggal di kediaman yang berada di sebelah barat pintu gerbang salah satu ponpes tertua di Jatim itu.

Pak Ud memilih tinggal di sebelah selatan Pasar Cukir, Kecamatan Diwek, Jombang dengan sesekali mengunjungi Ponpes Tebuireng yang sudah lama diasuhnya itu.

Fenomena yang terjadi pada bulan Juni 2006 itu sangat menarik, lantaran sangat jarang seorang pengasuh ponpes salaf menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada anggota keluarganya ketika masih hidup.

Lazim ditemui, pengasuh ponpes salaf akan berganti dengan sendirinya ketika pengasuhnya sudah mangkat. Namun Pak Ud telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada kalangan ulama.

Lebih lanjut, Gus Sholah mengatakan, khusus untuk mengembangkan pengajaran ilmu di bidang agama, sudah banyak tenaga pengajar yang mampu di lingkungan Ponpes Tebuireng.

"Sekarang tinggal kami kembangkan lebih maju lagi dengan mendirikan Ma’had Ali yang merupakan sebuah lembaga pendidikan tinggi di bidang kajian kitab kuning, mulai tahun ini," ujarnya menjelaskan.

Sedang di bidang ilmu umum, Gus Sholah telah menyusun program tahap awal mengenai perbaikan peningkatan kualitas tenaga pengajar, bahkan kalau perlu diberi kesempatan belajar di luar negeri.

Pak Ud meninggal dunia di RSUD dr Soetomo, Surabaya, Minggu malam dalam usia 78 tahun akibat menderita radang paru-paru. Sehari sebelum meninggal dunia, Pak Ud dibesuk Wapres Jusuf Kalla di Graha Amerta RSUD dr Soetomo, Sabtu (13/1) sore. (ant/sbh/mad)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaNu, AlaSantri, Cerita PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan saat ini toleransi yang ada di dunia sedang menghadapi cobaan. Karena itu, NU terus berjuang untuk menumbuhkan toleransi baik antar agama maupun diantara aliran dalam satu agama.

Hal ini disampaikannya ketika memberikan sambutan pada puncak acara Global Peace Festival yang berlangsung di Gelora Bung Karno, Ahad (17/10).

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan (Sumber Gambar : Nu Online)
Toleransi sedang Menghadapi Cobaan (Sumber Gambar : Nu Online)

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan

“Toleransi harus ditumbuhkan antara muslim dengan non muslim maupun antara muslim dengan muslim lainnya,” katanya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia mengisahkan KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur merupakan salah satu dari tim sembilan yang merumuskan pembentukan negara ini. Mereka sepakat untuk membentuk negara bangsa yang tidak didasarkan atas agama, meskipun umat Islam mayoritas di Indonesia.

Sementara itu Menakertrans Muhaimin Iskandar menyatakan pemerintah sangat mendukung kampanye perdamaian, baik antara sesama manusia maupun perdamaian antar negara.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan rakyat Indonesia sepakat membentuk sebuah negara karena ingin hidup dalam damai, lepas dari penjajahan bangsa lain.

“Para pendiri negara ini, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 sepakat ikut melaksanakanketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi,” katanya.

Karena itu, UUD memberi jaminan kepada warga negara untuk melaksanakan keyakinannya, serta memiliki berbagai macam hak lainnya yang dilindungi UU. “Tak ada tempat yang tak toleran dalam konstitusi kita,” tegasnya. (mkf)Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tokoh, Ahlussunnah, Syariah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Lintas Ormas di Surabaya Gelar Istighotsah untuk Salim Kancil

Surabaya, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Aktivitas solidaritas untuk aktivis anti-tambang Salim Kancil dan Tosan terus bergulir, Jumat (2/10) lalu, sedikitnya 100 massa dari berbagai ormas yang ada di Surabaya mengadakan doa bersama dan istighotsah di Taman Apsari, tepat di depan gedung Grahadi Surabaya Jawa Timur.

Lintas Ormas di Surabaya Gelar Istighotsah untuk Salim Kancil (Sumber Gambar : Nu Online)
Lintas Ormas di Surabaya Gelar Istighotsah untuk Salim Kancil (Sumber Gambar : Nu Online)

Lintas Ormas di Surabaya Gelar Istighotsah untuk Salim Kancil

Aliansi ini terdiri dari para pelajar yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Kota Surabaya, PCNU, Walhi Jawa Timur, Pusat Hak Asasi Manusia, Gusdurian, Ecoton, CRIS Foundation, CMARS, LPBP Waduk Depat, Kolektif Mata Rantai, dan LBH Kota Surabaya.

KH Saiful Halim yang memimpin acara tersebut menyatakan, acara ini digelar guna mendoakan almarhum Salim Kancil agar mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan yang Maha Esa dan kebenaran yang telah diperjuangkannya tidak sia-sia. “Kami juga berdoa untuk masyarakat yang berada di sepanjang pantai pesisir selatan agar tidak ada yang menjadi ‘Salim’ berikutnya, sebagai korban konflik sosial,” harap Kiai Saiful.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurut dia, pembukaan penambangan pasir besi di sepanjang pesisir selatan dari Banyuwangi hingga Lumajang menuai protes dari masyarakat, sehingga pemerintah kabupaten setempat harus tegas menolak penambangan yang menjadi pemicu konflik horisontal antarmasyarakat.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ketua PC IPNU Surabaya, Agus Setiawan mengatakan, tragedi berdarah di Desa Selok Awar-awar Lumajang bisa saja terjadi di wilayah-wilayah lain, apabila tidak ada langkah preventif sejak dini. “Karena masyarakat sudah tegas menolak penambangan pasir di sana,” tegasnya.

Sementara itu Direktur CMARS, Inoeng, dalam orasinya menyatakan, kasus terbunuhnya aktivis anti-tambang Salim Kancil harus menjadi pelajaran semua pihak dan agar pemerintah tidak gegabah untuk menerbitkan izin penambangan yang sudah jelas ditolak oleh masyarakat setempat, harus ada upaya evaluasi dalam pembangunan daerah.

"Kami mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil dan Tosan yang menjadi korban kekerasan para penguasa desa setempat. Tangkap dan adili aktor intelektual dibalik terbunuhnya Salim Kancil," tegasnya.

Sebelumnya, aksi serupa juga telah banyak diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia, termasuk melalui penandatangan petisi di situs elektronik change.org. Petisi yang menuntut pengusutan tuntas kasus Salim Kencil tersebut ditujukan kepada Kapolri, Pemkab Lumajang, LPSK, Komnas HAM, dan KPAI. (Najih/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kyai, Pahlawan PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 14 Oktober 2017

Masdar: Ramadhan, Bulan untuk Pertaubatan

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua PBNU Masdar F. Mas’udi berharap agar bulan suci Ramadhan ini benar-benar digunakan sebagai waktu untuk melakukan pertaubatan bersama, terutama bagi para pemimpin ummat dan bangsa.

“Sesungguhnya keterpurukan dan kebangkrutan negeri ini adalah akibat belaka dari sikap mementingkan diri sendiri dan ketamakan para pemimpinnya,” katanya, Selasa (11/9).

Hal lain yang menjadi perhatian Direktur Pusat Perhimpunan dan Pengembangan Pesantren (P3M) ini adalah konsumerisme di bulan Ramadhan dimana orang seharusnya malah bisa menahan dirinya.

Masdar: Ramadhan, Bulan untuk Pertaubatan (Sumber Gambar : Nu Online)
Masdar: Ramadhan, Bulan untuk Pertaubatan (Sumber Gambar : Nu Online)

Masdar: Ramadhan, Bulan untuk Pertaubatan

“Kita harus menjadikan bulan suci ini sebagai awal pembiasaan diri untuk hidup sederhana dengan tidak membeli atau mengonsumsi barang-barang mewah yang tidak benar-benar diperlukan; lebih-lebih barang tersebut bukan hasil karya bangsa sendiri,” tandasnya.

Masdar juga berharap agar para pemimpin ummat hendaknya tidak menonjol-nonjolkan diri dalam penentuan awal atau akhir bulan suci Ramadhan. “Serahkan perihal penentuan awal dan akhir bulan suci Ramadhan penetapan Pemerintah melalui Departemen agama yang diambil berdasarkan musyawarah bersama,” imbuhnya.

Menurutnya kesatuan pendapat ini penting karena silang pendapat tentang kapan memulai dan mengakhiri puasa ini hanya akan membingungkan ummat. (mkf)

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kajian Sunnah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 13 Oktober 2017

9 Guru Madrasah Terima Satya Lencana dari Presiden Jokowi

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebanyak sembilan guru dan pendidik madrasah menerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Pemberian penghargaan itu diberikan Presiden dalam kesempatan peringatan Hari Guru Nasional (HGN) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (24/11).

9 Guru Madrasah Terima Satya Lencana dari Presiden Jokowi (Sumber Gambar : Nu Online)
9 Guru Madrasah Terima Satya Lencana dari Presiden Jokowi (Sumber Gambar : Nu Online)

9 Guru Madrasah Terima Satya Lencana dari Presiden Jokowi

Mereka yang mendapat Satya Lencana adalah Masyitoh (Guru RA Muadz bin Jabal 2 Bantul Yogyakarta), Elvi Rahmi (Guru MIN Gulai Bancah Bukittinggi Sumbar), Nur Hasanah Rahmawati (Guru MTsN Maguwoharjo, Selman, Yogyakarta), dan Intan Irawati (MAN 15 Jakarta Timur). 

“Keempatnya adalah juara I pada pemilihan guru teladan dan berprestasi tingkat nasional tahun 2014,” terang Direktur Pendidikan Madrasah Kemanag RI, M Nur Kholis Setiawan.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selain itu, Nur Syarifah (Kepala RA Khadijah Muslimat NU Tabanan, Bali), Supriadi (Kapala MIN Kendari, Sultra), Lewak Karma (Kepala MTsN Al-Khoiriyah Buleleng, Bali), dan Nurlela (Kepala MAN 12 Jakarta Barat, DKI Jakarta). Mereka juga para juara I pada pemilihan kepala RA/Madrasah teladan dan berprestasi tingkat nasional tahun 2014. “Nurlela saat ini bertugas sebagai Kepala MAN 4 Pondok Pinang Jakarta Selatan,” kata Nur Kholis.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Satu orang yang juga mendapat Satya Lencana adalah Mustain, Juara I Pengawas Madrasah yang sehari-hari bertugas di Kankemenag Kabupaten Jepara,” tambah Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Menurut Nur Kholis, kesembilan guru ini memang layak menerima penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI, Joko Widodo pada perayaan HGN tahun ini yang mengambil tema “Guru Mulia Karena Karya”. Mereka adalah para pendidik yang sudah mendedikasikan dirinya dalam pelaksanaan tugas pendidikan secara baik dan professional. “Karya mereka adalah para peserta didik yang baik, berprestasi, dan berakhlakul karimah,” tuturnya.

Puncak perayaan HGN di Istora Senayan dihadiri oleh Presiden Jokowi dan sejumlah menteri Kabinet Kerja seperti Mensesneg Pratikno, Menag Lukman Hakim Saifuddin, dan Mendikbud Anis Baswedan. 

Dalam peringatan yang dihadiri oleh 12.000 guru lebih, Presiden menekankan pentingnya guru sebagai pembentuk karakter bangsa. Guru, menurut Presiden adalah agen perubahan karakter bangsa. Perubahan karakter bangsa bisa dimulai dari kelas-kelas dan sekolah-sekolah. “Sekolah tidak hanya tempat menuntut ilmu pengetahuan melainkan arena pembelajaran anak-anak kita dalam membentuk karakter mereka,” ucap Presiden.

Selain itu, Presiden menegaskan, guru bukan hanya sebuah pekerjaan, tapi guru menyiapkan masa depan generasi bangsa. Presiden meyakini karya guru-guru dapat melukis masa depan Indonesia. Kualitas masa depan bangsa ini ditentukan oleh guru-guru hari ini. Menurut Presiden, guru adalah teladan bagi generasi masa depan dan pembelajar yang terus belajar. “Karena itu, guru bukan hanya sekedar pendidik, melainkan peletak dasar masa depan bangsa kita,” tandas Presiden. (Red: Fathoni)

Sumber: kemenag.go.id

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kiai, Olahraga PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah