Sabtu, 17 Juni 2017

Muslim Pasiennya, Kristiani Dokternya

Cirebon, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Kesehatan itu tak punya agama,” tegas Jusak I Indrawan, Ketua Yayasan Griya Kesehatan Indonesia dari Geraja Kristen Indonesia Jakarta.

Karena itulah yayasan yang dipimpinnya menurunkan 30 orang tenga medis untuk membantu pengobatan gratis kepada warga sekitar pesantren Kempek , Cirebon, Jawa Barat, Kamis, (13/9).?

Muslim Pasiennya, Kristiani Dokternya (Sumber Gambar : Nu Online)
Muslim Pasiennya, Kristiani Dokternya (Sumber Gambar : Nu Online)

Muslim Pasiennya, Kristiani Dokternya

Meski pengobatan itu ditangani tenaga medis Kristen, ratusan warga Muslim berduyun mendatangi posko kesehatan Yayasan Griya Kesehatan Indonesia tersebut. “Yang bisa kami tangani adalah penyakit ringan seperti ISPA, kulit, dan maag. Tapi ada juga pasien dengan penyakit lain, seperti mata. Ya, kami layani,” ujarnya.?

Diakui Jusak, bakti sosial tersbut merupakan rangkaian dari Musayawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) yang akan berlangsung 14-17 September mendatang, di pesantren Kempek.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Kami diminta panitia untuk pengadakan pengobatan gratis. Karena itu tugas kami, kami bersedia. Kami ingin berbagi dengan sesama anak bangsa. Bersama NU, kami sering kali melakukan kegiatan serupa,” tambahnya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Mulai besok, kami akan memberikan penanganan lebih untuk peserta Munas-konbes. Kami menyiapkan mobil klinik. Mobil ini berfungsi semacam Unit Gawat Darurat yang bisa menangani sementara untuk penyakit berat seperti jantung.”

Hari sebelumnya, yayasan tersebut juga melakukan hal yang sama di pesantren Darul Maa’rif. "Di pesantren itu target kami melayani 300 orang pasien. Ternyata lebih. Kami melayani 316 warga,” tambahnya.

?

Redaktur ? ? ? ? : Hamzah Sahal

Penulis ? ? ? ? ? : Abdullah Alawi

?

?

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nasional, Amalan PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 13 Juni 2017

Siapa di Balik Aksi 4 November? Ini Penjelasan Ketum GP Ansor

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua GP Ansor H Yaqut Choulil Qoumas, menengerai aksi demonstrasi 4 November berpotensi ditunggangi kelompok radikal. Kelompok radikal tersebut jumlahnya tidak sebanyak kelompok moderat dan toleran, namun berpeluang besar menghancurkan kedamaian di Indonesia.

“Kelompok yang selama ini ada adalah yang berperilaku moderat dan toleran. Tapi yang turun di tanggal 4 ini, di luar ruang pergaulan kami,” kata Gus Atut seperti dikutip dari video berjudul ‘Ansor Ungkap Rencana di Balik Aksi 4 November’ yang diunggah akun youtube 164 Channel.

Siapa di Balik Aksi 4 November? Ini Penjelasan Ketum GP Ansor (Sumber Gambar : Nu Online)
Siapa di Balik Aksi 4 November? Ini Penjelasan Ketum GP Ansor (Sumber Gambar : Nu Online)

Siapa di Balik Aksi 4 November? Ini Penjelasan Ketum GP Ansor

Gus Yaqut menambahkan pihaknya mendapat informasi dari banyak pihak terkait aksi 4 November, ada gelombang besar dari kelompok radikal yang dikirim ke Jakarta.

“Ada alumni konflik Poso sebanyak 70 orang yang diberangkatkan. Menyusul dari Solo Raya (Sukoharjo, Klaten, Solo) yang selama ini dikenal sebagai basis kelompok radikal,” kata Gus Yaqut dalam video yang diunggah pertama kali tanggal 2 November.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurutnya dari kelompok-kelompok itu yang paling dikhawatirkan adalah adanya kelompok radikal yang bergerak tidak terorganisir. Mereka bergerak sendiri dan atas kesadaran serta kemauan sendiri.?

“Kalau garis keras yang selama ini lembaganya kita kenal seperti Jamaah Ansorut Tauhid dan Ansori Syariah, kita tidak terlalu khawatir karena saya yakin aparat negara atau intelejen sudah mendapatkan informasi gerakan mereka,” ujarnya.?

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia menyebut aksi penyerangan pos polisi di Tangerang beberapa waktu lalu dilakukan oleh sel tidak terduga. Kelompok atau sel-sel semacam itulah yang kemungkinan besar ikut dalam aksi 4 November ini.

Oleh karena itu, GP Ansor menekankan tidak akan terlibat di dalam aksi 4 November. Kader Ansor dan Banser dilarang baik ikut dalam demo 4 November maupun sekadar menjaga aksi demo, kecuali negara memanggil melalui aparat keamanan untuk menjaga keamanan di ibukota.

Berkaitan dengan isyu yang tersebar di media sosial yang menyerang ulama NU, Gus Yaqut mengatakan salah satu tugas Ansor adalah menjaga ulama.?

“Selalu saya katakan berulang kali, siapa pun yang mengganggu ulama, akan kita lawan. Jangankan menganggu, mencolek saja akan berhadapaan dengan Ansor dan Banser,” tegasnya.

Tonton video lengkapnya di https://www.youtube.com/watch?v=TGj52UZWTH0

(Kendi Setiawan/Mukafi Niam)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pertandingan, IMNU PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 12 Juni 2017

KH Bisri Mustofa tentang Mencintai Pahlawan

Oleh M. Rikza Chamami

Indonesia memiliki banyak pahlawan yang berjuang gigih meraih kemerdekaan. Tentunya perjuangan itu bukan hal sederhana. Mereka rela mengorbankan nyawa, jiwa, raga dan harta demi untuk bangsanya. Maka, mencintai para pahlawan merupakan satu hal yang penting ditanamkan. Salah satu pemikiran yang disampaikan oleh KH Bisri Mustofa adalah tentang cinta kepada para pahlawan.

KH Bisri Mustofa tentang Mencintai Pahlawan (Sumber Gambar : Nu Online)
KH Bisri Mustofa tentang Mencintai Pahlawan (Sumber Gambar : Nu Online)

KH Bisri Mustofa tentang Mencintai Pahlawan

KH Bisri Mustofa (selanjutnya disebut Mbah Bisri) merupakan salah satu ulama Nusantara yang lahir di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915. Ayahnya adalah pedagang kaya bernama H Zainal Mustofa (Djojo Mustopo) bin H Yahya (Podjojo) yang dikenal tekun dalam beragama dan sangat mencintai Kiai. Ibunya bernama Hj. Chodijah binti E. Zajjadi bin E. Sjamsuddin yang berdarah Makassar.

Nama Bisri Mustofa dipakai sejak pulang dari ibadah haji. Sebelumnya ia bernama Mashadi. Pernikahan H Zainal Mustofa dengan Hj. Chodijah melahirkan empat anak: Mashadi (Bisri), Salamah (Aminah), Misbach dan Ma’shum.Pendidikan Mbah Bisri dimulai dengan mengaji kepada KH Cholil Kasingan dan H. Zuhdi (kakak tiri). Mbah Bisri juga menjalankan Sekolah Jawa (Sekolah Ongko 2) selama tiga tahun dan dinyatakan lulus dengan mendapat sertifikat.?

Mbah Bisri sempat mondok di Pesantren KH Chasbullah Kajen Pati. Waktu belajar banyak dihabiskan di Pondok Kasingan Rembang belajar dengan Kiai Suja’i (Kitab Alfiyyah) dan dan KH Cholil (Kitab Alfiyyah, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Iqna’, Jam’ul Jawami’, Uqudun Juman dan lain lain). Mbah Bisri sempat berniat mengaji di Pondok Pesantren Termas dibawah asuhan KH Dimyati, tapi niat itu gagal karena tidak mendapat restu KH Cholil.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mbah Bisri juga pernah mengikuti khataman Kitab Bukhori Muslim yang dimulai pada 21 Sya’ban 1354 H bersama KH Hasyim Asya’ri di Tebuireng Jombang. Di tengah pengajian itu, tepatnya 10 Ramadan 1354 H, KH Hasyim Asy’ari jatuh sakit dan digantikan oleh KH Ilyas (Kitab Muslim) dan KH Baidlawi (Kitab Tajrid Bukhari).

Mbah Bisri juga memiliki dua guru dari sistem mengaji candak kulak(musyawarah kitab dan hasilnya dipakai mengajar) dengan Kyai Kamil dan Kyai Fadlali di Karanggeneng Rembang. Proses belajar tetap ia jalankan karena merasa haus ilmu, Mbah Bisri memilih mukim di Makkah setelah menunaikan ibadah haji tahun 1936. Di Makkah, Mbah Bisri berguru dengan: ? Syaikh Bakir, Syaikh Umar Chamdan Al Maghrabi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, Sayyid Alawie dan Syaikh Abdul Muhaimin.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Berbekal keilmuan itulah, Mbah Bisri kemudian berkembang menjadi figur ulama Nusantara yang dikenal sangat ‘alim. Rasa sayangnya KH Cholil seorang guru dari Mbah Bisri ditunjukkan dengan menjadikannya sebagai menantu. Mbah Bisri dinikahkan dengan putri KH Cholil bernama Ma’rufah pada 17 Rajab 1354 H/Juni 1935 M. Dari pernikahannya ini, Mbah Bisri memiliki anak: Cholil (lahir 1941), Mustofa (dikenal dengan sebutan Gus Mus, lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah (lahir 1955), Labib (1956), Nihayah (lahir 1958) dan Atikah (lahir 1964). Pada tahun 1967, Mbah Bisri menikah dengan Hj Umi Atiyah yang berasal dari Tegal dan melahirkan satu anak bernama Maemun (Ahmad Zainal Huda: 2005).

Ilmu yang dimiliki Mbah Bisri diajarkan di Pondok Kasingan dan Pondok Rembang yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin (Taman Pelajar Islam). Mbah Bisri dikenal memiliki tiga kemampuan: articulation, documentation dan organizing. Artikulasi dikuasai Mbah Bisri dalam teknik orasi dan pidato dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Kemampuan dokumentasi ditunjukkan dengan hasil karya tulisnya yang sangat banyak (276 kitab dan buku). Dan semangat organisasi dijalankan sebagai wadah perjuangan, baik di tingkat lokal hingga nasional.

Diantara pokok pemikiran Mbah Bisri dalam mencintai pahlawan, ia abadikan dalam bentuk syi’iran Jawa “Ngudi Susilo” dengan menggunakan tulisan pegon, yaitu:

Ngagem blangkon serban sarung dadi gujeng * Jare ora kebangsaan ingkang majeng

Sawang iku Pangeran Diponegoro * Imam Bonjol Tengku Umar kang kuncoro

Kabeh podo belo bongso lan negoro * Podo ngagem destar pantes yen perwiro

Gujeng serban sasat gujeng Imam Bonjol * Sak kancane he anakku aja tolol

Timbang gundul apa ora luweh bagus * Ngagem tutup sirah koyo Raden Bagus

Memakai blangkon, surban dan sarung jadi pembicaraan. Dianggap tidak memiliki jiwa kebangsaan yang maju.

Lihatlah Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol dan Tengku Umar yang sudah terkenal.

Semuanya dari mereka nyata-nyata membela bangsa dan negara dengan menggunakan pakaian kebesaran, nampak seperti Perwira.

Memakai surban sebagaimana Imam Bonjol. Dan janganlah menjadi orang bodoh.

Daripada tidak memakai penutup kepala, nampak kurang bagus. Maka pakailah penutup kepala agar seperti Raden Bagus (priyayi).

Dari pemaknaan syi’ir Jawa ini dapat diambil pemahaman bahwa mencintai para pahlawan itu empat pola yang harus dilakukan: mengikuti jejak cinta bangsa dan negara, memakai pakaian yang bagus dan berwibawa, berilmu pengetahuan dan tidak sombong. Empat makna cinta terhadap perjuangan para pahlawan bangsa ini menjadi sangat penting bagi generasi sekarang.

Pertama, mengikuti jejak cinta bangsa dan negara. Para pahlawan yang telah gugur dalam medan perang benar-benar merasakan perjuangan nyata. Berbeda dengan generasi sekarang yang sudah secara instan menikmati kemerdekaan dan kenyamanan hidup di Indonesia. Maka cinta terhadap tanah air menjadi salah satu bagian dari menghormati para pahlawan pendahulu.?

Kedua, memakai pakaian yang bagus dan berwibawa. Wibawa seseorang, salah satunya memang dapat dilihat dari cara berpakaian. Oleh sebab itu, nasehat Mbah Bisri yang ditulis ini menjadi tauladan bahwa orang yang berpakaian rapi, maka nampak gagah dan siap menjadi pemimpin. Termasuk jenis pakaian yang berbeda blangkong/surban/sarung atau lainnya tidak menjadi pemisah rasa persatuan. Keanekaragaman pakaian itu menandakan potensi lokal yang harus dihargai. Yang paling penting adalah tidak merendahkan pakaian kebesaran yang dimiliki oleh orang lain.

Ketiga, berilmu pengetahuan menjadi salah satu bagian dari mencintai para pahlawan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, maka manusia akan menjadi bodoh. Maka Mbah Bisri berpesan: “Jangan jadi orang tolol/bodoh”. Sebab dengan kebodohan, orang akan gampang ditipu. Dan salah satu alasan penjajah Indonesia mampu berkuasa ratusan tahun karena penduduknya saat itu tidak memiliki ilmu pengetahuan. Penderitaan bangsa kita jangan sampai terulang lagi hanya karena banyak orang bodoh di Indonesia.

Dan keempat, tidak sombong. Setelah mengenang para pahlawan dan menambah ilmu pengetahuan, maka rasa kebangsaan harusnya semakin kuat. Jangan sampai perilaku itu berubah menjadi sombong (tidak menutup kepala). Kesombongan yang dimiliki oleh bangsa ini juga akan melahirkan ego-sektoral dengan melemahkan kelompok lain. Maka pesan tidak sombong ini menjadi penting agar hidup bersama-sama dengan penuh kerukunan mudah tercapai.

Pesan-pesan ulama Nusantara yang demikian ini memang perlu sekali dipahami secara baik. Dengan kekuatan bahasa sastra yang indah dan dapat dilagukan ini, menjadikan kita paham siapa sebenarnya KH Bisri Mustofa. Ia tak lain adalah figur Kiai dengan multitalenta dengan segudang nasehat-nasehat bagi generasi muda. Keberadaan kitab Ngudi Susilo ini juga hingga sekarang masih dipelajari di Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyyah sebagai buku pegangan belajar akhlak. Wallahu a’lam.

Penulis adalah Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang dana Dosen UIN Walisongo.

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah News, Kajian Sunnah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 11 Juni 2017

Sosiologi Wulan Poso Wong Jowo

Judul: Ramadan di Jawa: Pandangan dari Luar

Penulis: Andre Moller

Tahun terbit: September, 2005

Halaman: xi+309

Sosiologi Wulan Poso Wong Jowo (Sumber Gambar : Nu Online)
Sosiologi Wulan Poso Wong Jowo (Sumber Gambar : Nu Online)

Sosiologi Wulan Poso Wong Jowo

Penerbit: Nalar, Jakarta

Peresensi: Abu Khaer

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

‘Bapak Antropolog’ Indonesia, Koentjaraningrat, sebagaimana dikutip oleh Ceprudin (2010), pernah melukiskan mengenai kegiatan Ramadhan di Jawa dengan menyatakan “orang Jawa senang mencari kesusahan dan menderita ketaknyamanan dengan sengaja untuk tujuan agama.”

Dalam pandangan Guru Besar Antropologi salah satu universitas negeri tersebut, memandang bahwa kesusahan dan penderitaan menjalankan ‘adat’ religius bagi masyarakat Jawa, justru dipandang sebagai kesenangan pribadi, bahkan sebenarnya lebih tepat lagi jika ia mengatakan sebagai suatu kebahagiaan tersendiri, termasuk ketika menyambut, melaksanakan, dan meneruskan tradisi agung umat Islam, shaum Ramadhan. Istilah shiyam ataupun shaum, bukan ‘barang’ atau ‘wacana’ baru bagi orang Jawa. Terlepas dari perbedaan makna shiyam atau shaum dan puasa, orang Jawa lebih memilih istilah sendiri dengan menggunakan istilah wulan puasa.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Bagi umat Islam, tak terkecuali di Jawa, percaya bahwa dengan menahan lapar selama satu bulan, ia akan mendapatkan ridho Allah. bagi orang Jawa, puasa, tirakat, bertapa, sudah menjadi adat tradisi yang berlangsung  turun-temurun sejak nenek-moyang dulu. Salah satu contoh, bagaimana puasa telah mengakar dalam kehidupan orang Jawa seperti tercantum dalam Serat Wulang Reh, “Dadiyo lakunireku, cegah dhahar lawan guling, lan aja asukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala watake wong suka, nyuda prayitnaning batin.” Orang Jawa sangat menjaga dan terus berusaha meningkatkan kualitas rohani. Seluruh nasihat dalam peribahasa Jawa yang ribuan itu pun, posisinya lebih sebagai ‘’fatwa rohani’’. Bukan rumus perhitungan untuk menyelesaikan persoalan praktis keduniawian, melainkan ajakan untuk menjalankan puasa dan tirakat setiap hari, sepanjang hayat. Jika direnungkan, makna dari cegah dhahar lawan guling, ana sethithik dipangan sethithik, ya jangane ya segane, adalah upaya untuk mengolah dan menata dunia batin manusia.

Puasa dan tirakat di Jawa memang berat, karena cenderung dilakukan setiap hari, setiap saat. Namun, seperti halnya orang yang telah terbiasa memikul beban berat, manakala benar-benar mendapat cobaan (beban kehidupan nyata) tentu akan lebih kokoh, tawakal, dan ikhlas menerimanya. Dengan demikian, beban hidup itu jadi terasa ringan.

Maka tidak mengherankan jika puasa yang dimaknai sebagai upaya pembersihan diri banyak diamalkan orang Jawa sebelum ajaran shiyam Ramadhan diperkenalkan oleh ajaran Islam. umat Islam di Jawa jauh-jauh hari menjelang bulan Ramadhan sudah melakukan ritus-ritus. biasanya diawali sejak bulan Ruwah atau roa (Syakban). Di bulan Ruwah, umat Islam menyibukkan dengan kegiatan atau pekerjaan yang memungkinkan diselesaikan (dipadatkan) pada bulan itu. Di Semarang ada Dugderan yang sangat terkenal dan erat kaitannya dengan Ramadhan di Jawa. Bahkan, dihampir seluruh wilayah pulau Jawa, terutama pedesaannya, pada pertengahan bulan roa, di malam harinya ramai-ramai mengadakan acara nisfu sya’banan, suatu ritus untuk berupaya semoga buku amal perbuatan manusia selama satu tahun di tutup dengan indeks prestasi ke-sholeh-an sebelum menghadapi ‘bulan panen’ amal kebajikan Ramadhan.

Lebih jauh lagi, seiring dengan perkembangan budaya Jawa aksesoris menjelang Ramadhan ada yang menggunakan secara simbol “politis”. Tujuan politis pada bulan Ramadhan dapat dipahami dalam konteks pemikiran yang menganggap Ramadhan sebagai sebuah “momentum”-nya umat Islam. Termasuk di dalamnya adalah kontroversi hisab-rukyat dalam menentukan satu syawal pun ikut mewarnai. Meskipun tidak terjadi kontras begitu serius.

Hal yang masih kontroversi dalam ritus menjelang Ramadhan yaitu nyekar. Nyekar adalah kegiatan berkunjung dan membersihkan makam-makam orang tua atau sanak saudara yang telah terlebih dahulu menghadap kehadirat Illahi biasanya dengan membawa bunga tujuh rupa (umba rampe) untuk ditaburkan di makam dan pembacaan do’a tahlil.  Pro-kontra ini terjadi antara Islam tradisional (pro) dan modernisme (kontra). Bagaimana pun juga umat Islam Jawa mayoritas percaya dan yakin terhadap nyekar sebagai bentuk lain dari perwujudan ziarah kubur, yang bertujuan ketika memasuki bulan Ramadhan diri dalam keadaan suci dan untuk ‘sekedar berusaha’ meringankan beban ukhrowi keluarganya yang telah wafat.

Memasuki bulan Ramadhan menurut orang Jawa harus benar-benar suci secara komprehensif, baik lahir maupun bathin. Dimulai dengan bebersih diri, beranjak sampai skup bebersih lingkungan, dimana ada tradisi bersih lingkungan. Di bulan Ramadhan, lingkungan harus bersih dari kotoran sampah dan juga dipahami bersih dari perbuatan amoral. Karena dianggap dalam bulan ramadhan lebih mengganggu aktifitas berpuasa.

Sebelum berpuasa, umat Islam pada malam hari disunnahkan untuk makan sahur. Alunan ‘musik’ ensambel perkakas dapur yang dimainkan anak-anak atau ta’mir mesjid yang mengumandangkan agar menyegerakan bersahur mengakibatkan suasana menjadi riang dan saling bergotong royong meski ala kadarnya menjadi semakin kuat, tak seperti malam-malam biasa. Pada siang harinya segala lapisan strata sosial, mulai anak-anak sampai dewasa, menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an (Tadarusan). Menjelang sore, sebagian ibu-ibu sibuk mempersiapkan menu untuk berbuka puasa, kaum remaja dan anak muda jalan-jalan sore (JJS) dengan berbagai ragam niatnya, dengan tertib menunggu waktu ifthor tiba.

Di malam hari selesai sholat Isya’ dilanjut dengan sholat tarawih. Sholat tarawih merupakan ritus paling penting sepanjang bulan Ramadhan. Dalam penentuan jumlah raka’at pun disini terjadi perbedaan antara Islam tradisional dan modernis. Meski akhir-akhir ini perdebatan itu sudah mulai mencair.

Malam-malam khusus yang diperingati pada bulan Ramadhan juga ikut meramaikan belantika wulan puasa Jawa. Di antaranya malam Lailatul Qodar dan Nuzulul Qur’an. Bisanya diisi dengan pengajian-pengajian yang berkaitan dengan turunnya al-Qur’an. Umat Islam dan Orang Jawa khususnya, percaya bahwa malam itu penuh dengan berkah dan kemuliaan dibanding dengan seribu bulan.

Ritus yang tidak kalah penting menurut orang Jawa yaitu I’tikaf. I’tikaf tidak begitu populer, biasanya kegiatan i’tikaf dilakukan pada hari-hari ganjil sepuluh hari akhir bulan Ramadhan. Ritus ini sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad sebagai sarana untuk introspeksi dan mendekatkan diri kepada Allah.

Pada hari terakhir menjelang bergantinya bulan Ramadhan ke bulan Syawal (Idul Fitri) untuk menyempurnakan ibadah puasanya umat islam diwajibkan untuk berzakat fitrah (kesucian). Datangnya hari raya Idul Fitri itu diakhiri dengan berbuka puasa hari terakhir bulan Ramadhan dengan ditandai pemukulan beduk di musholla dan masjid setelah ada pengumuman resmi dari Pemerintah.

Pada malam hari ini umat muslim merayakan dengan sangat meriah. Paling banyak dilakukan adalah Takbiran. Ada yang melakukannya dengan sambil keliling kampung dengan menggemakan koor Takbir dengan berulang-ulang sambil membawa lampu ‘oncor’ yang terbuat dari bambu. Tua, muda, perempuan, laki-laki tumpah-ruah sama-sama memeriahkan malam hari ‘kemenangan’ Hari Raya Idul Fitri ini. Pagi harinya umat muslim berbondong-bondong menuju ke mesjid untuk melaksanakan Shalat Id. Tepatnya hari ini tanggal 1 syawal.

Selesai Sholat Id, umat Islam Jawa bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Tujuannya agar dosa sesama manusia selama berinteraksi pada hari itu bisa diampuni Allah. Setelah merasa lega dan puas bermaaf-maafan serta silaturahmi pada hari itu juga dilanjutkan dengan kumpul bareng keluarga sambil menyantap opor ayam dan ketupat bersama-sama keluarga. Acara Hari kemenangan lumrahnya diakhiri dengan kembali nyekar ke pekuburan keluarga. Nyekar disini substansinya sama dengan nyekar menjelang Ramadhan. Hanya bedanya ini dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan tentunya dengan busana pakaian yang baru dibeli.

Demikian gambaran Ramadhan berikut dengan aksesoris ritus yang dilakukan orang Jawa. Meskipun dari sisi materiil orang Jawa harus menyediakan lebih dibanding bulan biasanya, tapi semua itu tertutupi dengan senangnya kedatangan bulan suci Ramadhan.

Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karya penulis Swedia, Andre Moller ini menarik untuk kita renungkan terutama dalam momen-momen Ramadhan. Buku ini tidak melihat puasa semata-mata dari aspek teologis-normatif, tetapi lebih dari itu, pelaksanaan ibadah puasa dalam buku ini dilihat dari aspek aksesoris yang mengitarinya dan membuat ramadhan menjadi lebih meriah dari bulan-bulan lainnya.

*Koordinator social Karang Taruna PelitaIndonesia Banyuputih Wringin Bondowoso Jatim

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaSantri, Ahlussunnah, Cerita PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 10 Juni 2017

Gus Sholah Ajak Santri Kampanyekan Makan Ikan

Jombang, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tingkat konsumsi masyarakat terhadap protein masih memprihatinkan. Karenanya, diperlukan peran berbagai kalangan agar menambah konsumsi protein ? lewat makan ikan menjadi salah satu tradisi di masyarakat.

Ajakan tersebut disampaikan Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid. Dalam pandangan Gus Sholah, sapan akrabnya, peran tersebut dapat diambil ? d oleh santri untuk turut berperan aktif mengkampanyekan budaya makan ikan di tengah masyarakat.

Salah satu caranya, kata Gus Sholah, adalah dengan meningkatkan budidaya perikanan air tawar berbasis pesantren. Dengan meningkatnya budaya makan ikan, diharapkan akan turut meningkatkan konsumsi protein masyarakat.

Gus Sholah Ajak Santri Kampanyekan Makan Ikan (Sumber Gambar : Nu Online)
Gus Sholah Ajak Santri Kampanyekan Makan Ikan (Sumber Gambar : Nu Online)

Gus Sholah Ajak Santri Kampanyekan Makan Ikan

Hal itu disampaikan Gus Sholah saat membuka Pelatihan Pembesaran Ikan Lele dengan Sistem Bioflok di Gedung Diklat Pesantren Tebuireng II di Desa Jombok, Kecamatan Ngoro, Jombang, Senin (24/7) awal pekan ini. Pelatihan yang diikuti peserta dari beberapa pesantren di Jombang ini merupakan kerjasama antara Pesantren Tebuireng dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dengan menghadirkan instruktur dari Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Banyuwangi.

Gus Sholah menuturkan, pelatihan yang telah diikuti empat angkatan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada pertengahan November 2016 lalu. "Saat itu, Bu Susi mengajak Pesantren Tebuireng untuk turut berperan aktif membantu pemerintah dalam kampanye budaya makan ikan dan menantang para santri untuk merintis usaha budidaya ikan air tawar," ungkap Gus Sholah.

Usai pembukaan pelatihan untuk angkatan ketiga dan keempat tersebut, para peserta juga diajak mengikuti panen perdana hasil kegiatan peserta pelatihan angkatan sebelumnya. Panen perdana dipimpin oleh Nyai Hj. Farida Salahuddin (istri Gus Sholah) didampingi beberapa pejabat dari BPPP Banyuwangi dan Dinas Perikanan Jombang.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kepada para santri, Nyai Farida berpesan agar kepercayaan sekaligus tantangan yang diberikan oleh KKP dapat dijaga dengan baik dan amanah. "Minimal, hasil budidaya ikan lele ini nanti harus bisa memenuhi kebutuhan Jasa Boga di Pesantren Tebuireng. Jadi, pondok tidak perlu lagi memesan ikan lele dari luar," harapnya.

Mudir Pesantren Tebuireng Lukman Hakim menuturkan, ikan lele yang dipanen secara perdana merupakan hasil budidaya peserta pelatihan angkatan pertama dan kedua. "Secara keseluruhan, sudah ada 120 orang yang ikut pelatihan. Mereka berasal dari Pesantren Tebuireng dan sembilan pesantren lainnya," ungkap pria kelahiran Banten ini.

Saat ini, tutur Lukman, Pesantren Tebuireng sedang menyiapkan 24 buah kolam lele berdiameter tiga meter bantuan dari KKP. "Mulai awal Agustus, akan ada 40 kolam yang dikelola untuk usaha budidaya ikan lele," ujarnya. (Ibnu Nawawi/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaSantri, Anti Hoax, Nasional PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

TV Anti Imperialisme Diluncurkan

Venezuela, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Presiden Venezuela Hugo Chavez meresmikan stasiun televisi baru Amerika Latin hari Minggu untuk memerangi apa yang disebut pemerintahnya sebagai "imperialisme kebudayaan" dari media AS dan Eropa.
   
Telesur (Telesouth), stasiun televisi berbahasa Spanyol yang  didirikan pemerintah Venezuela, Argentina, Kuba dan Uruguay, mulai menyiarkan komentar dari para pejabat stasiun televisi itu dan  badan penasehat yang terdiri atas para intelektual sayap kiri dan selebriti internasional.
   
"Kami meluncurkan Telesur untuk mematahkan rejim komunikasi ini dan menyampaikan satu visi, satu suara yang sampai kini masih diam. Telesur adalah satu prakarsa untuk menandingi imperialisme kebudayaan," kata Andres Izarra, Direktur utama Telesur dan menteri komunikasi Venezuela.
    
Tujuan usaha yang dibiayai Venezuela itu adalah untuk memberikan satu perspektif Amerika Latin, mempromosi kebudayaan yang beragam dan melawan apa yang disebut para penciptanya sebagai "hegomoni" jaringan internasional dan komersial lokal dalam liputan mereka tentang kawasan itu.
    
Chavez, pemimpin nasionalis berhaluan kiri yang sering menuduh Presiden AS George W. Bush melakukan persekongkolan untuk menggulingkannya, menyebut peluncuran itu sebagai "keberhasilan" dan mengatakan Telesur penting bagi visinya tentang integrasi Amerika Latin dan Karibia.
    
Ia mengatakan saluran itu dapat menarik para pamirsa dari seluruh kawasan dan bahkan Bush "terpaku menonton Telesur. Hubungan dengan AS, pembeli utama minyak Venezuela, memburuk sejak Chavez memerintah tahun 1998 dan memperkokoh hubungan dengan Kuba yang komunis. AS mengimpor 15 persen minyaknya dari Venezuela, pengekspor minyak mentah terbesar kelima di dunia.
    
Chavez mengatakan jaringan televisi itu merupakan pukulan terhadap usaha sejumlah anggota parlemen AS yang berusaha melakukan apa yang idisebut sebagai "perang elektronik."
    
Pekan lalu, DPR AS menyetujui rancangan undang-undang dengan satu amandemen yang memberikan wewenang penyiaran ke Venezuela untuk menghadapi apa yang disebut Washington sebagai retorika anti-Amerika dan anti-kebebasan" ujar Chavez.
   
"AS mengancam kami dengan siaran untuk menetralkan Telesur. Kami telah memperoleh tujuan pertama," kata Chavez dalam percakapan telepon dengan televisi itu sewaktu acara peresmiannya.
   
Chavez juga membela Telesur dalam menghadapi para pengamat yang mengatakan jaringan itu akan menjadi alat propaganda bagi pemerintah "revolusioner’nya  dan bagi sekutu Karibianya, Presiden Kuba Fidel Castro.
   
"Saya yakin Telesur akan mampu mempertahankan independensinya.Telesur tidak akan tergantung pada pemerintah manapun, ia bebas melayari perairan kebenaran dan membantu pembangunan sebuah dunia baru," kata Chavez.
   
Saluran yang berpusat di Caracas itu akan menyiarkan berita melalui satelit dari biro-biro di Buenos Aires (Argentina), Brasilia (Brazil), Montevideo (Uruguay), La Paz (Bolivia), Bogota (Colombia), Caracas (Venezuela), Havana (Kuba), Kota Meksiko (Meksiko) dan Washington.(reuters/atr/cih)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaNu, Tokoh PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

TV Anti Imperialisme Diluncurkan (Sumber Gambar : Nu Online)
TV Anti Imperialisme Diluncurkan (Sumber Gambar : Nu Online)

TV Anti Imperialisme Diluncurkan

Kamis, 01 Juni 2017

Asad: Indonesia Sedang Alami Liberalisasi

Kudus, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Asad Said Ali mengingatkan kepada warga NU untuk mengantisipasi paham-paham liberal baik di sektor ekonomi maupun agama. Paham tersebut, menurutnya, telah menyiapkan skenario terjadinya perang peradaban.

Asad:  Indonesia Sedang Alami Liberalisasi (Sumber Gambar : Nu Online)
Asad: Indonesia Sedang Alami Liberalisasi (Sumber Gambar : Nu Online)

Asad: Indonesia Sedang Alami Liberalisasi

"Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU) harus menjadi ujung tombak untuk melakukan pembenahan-pembenahan organisasi. Jangan sampai kita kemasukan paham-paham seperti itu dan dianggap sebagai liberal," katanya saat menjadi pembicara kunci dalam acara Program Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang diselenggarakan PC Lakpesdam Kudus bekerja sama dengan PP Lakpesdam di Pesantren Raudlatul Mutaallimin, Kudus, Jawa Tengah, Jumat (20/3).

Asad menyatakan belakangan ini bangsa Indonesia telah mengalami gerakan liberalisasi pada sektor ekonomi. Menurutnya, kekayaan negara sudah dikuasai pihak asing sehingga berdampak pada  masyarakat menjadi terpinggirkan.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Untuk melawan liberalisasi ekonomi itu, ia menegaskan NU harus bisa mengembangkan etos kewirausahaannya dan menciptakan banyak pedagang andal dan besar untuk kemajuan Nahdaltul Ulama.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"NU harus membangun kembali Nahdlatut Tujjar untuk menjadikan seorang saudagar maupun pedagang. Bukan berbentuk koperasi, karena koperasi terlalu lama," ujarnya.

Di samping pada sektor ekonomi, kata Asad, agama juga ingin diliberalkan. Kelompok liberal  menyebarkan konsep tasamuh (toleransi) ala Barat yang membolehkan menghujat agama lain.

"Indonesia mau diadakan untuk menjadi liberal terkait penistaan agama yang UU-nya mau dihapuskan. Termasuk contoh lain membolehkan pernikahan sejenis. Kita harus perhatikan hal ini," tandas Asad.

Asad menilai pemahaman tentang toleransi masih terjadi perbedaan pandangan di antara kelompok. Karenanya keduanya perlu dirumuskan terlebih dahulu. "Sekarang ini belum ada rumusannya terhadap orang yang menyebarkan dakwah secara pura-pura, menyinggung perasaan orang dan mengkafir-kafirkan," tegasnya.

Ia menengarai ada upaya kelompok lain yang ingin selalu memprovokasi NU  agar orang-orang NU melakukan kekerasan. "Maka harus kita hadapi dengan dialog dan memperkuat pengetahuan kita tentang dalil-dalil agama yang kuat untuk menghadapi mereka," ungkapnya.

Kegiatan  PPWK ini berlangsung mulai Jumat-Ahad (20-22/3) dan diikuti 45 peserta dari kalangan kiai muda pengasuh pesantren se-Kabupaten Kudus. Selain H Asad Said Ali (Wakil Ketum  PBNU), turut hadir sebagai narasumber H. Abdul Ghafur Maimun (Pengasuh Pesantren Sarang, Rembang), H. Abudl Munim DZ (Wakil Sekjen PBNU), H Abu Hafsin (ketua PWNU Jateng), serta dari tim PP Lakpesdam NU, yakni Yahya Mashum, Marzuki Wahid, dan Ahmad Baso. (Qomarul Adib/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Aswaja, Halaqoh, Nahdlatul Ulama PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah