Rabu, 05 April 2017

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah

Bandarlampung, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah?



Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung Suryani M. Nur mengajak umat Islam untuk menjaga ukhuwah islamiyyah. Ia menyatakan hal itu saat menjadi narasumber pada Obrolan Santai (Obras) di Swiss-Belhotel International Bandar Lampung, Jumat (26/5).

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)
Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah

Umat Islam, menurutnya, memiliki aqidah yang sama dan diharapkan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan hatinya serta mengedepankan toleransi di tengah berbagai perbedaan pandangan agama yang ada.

"Mari bersatu dalam aqidah, istiqomah dalam beribadah dan toleransi dalam khilafiyah," kata Suryani yang juga Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah NU (LAZISNU) Provinsi Lampung ini.

Terlebih di bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci penuh berkah ini, ia mengajak umat Islam untuk introspeksi dan berusaha memperbaiki diri. Selain itu memaksimalkan kualitas dan kuantitas ibadah juga perlu dilakukan agar kesempatan kemuliaan Ramadhan tidak dilewatkan dengan sia-sia.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Mari perbaiki diri di bulan suci ini. Raih sejahtera di bulan penuh rahmat ini menuju taubat di bulan penuh ampunan ini," ajak tokoh yang juga masih menjabat Ketua Umum MUI Kota Bandarlampung ini.

Hal ini, lanjutnya, ditujukan agar target dan tujuan berpuasa dapat tercapai yakni menjadi orang bertakwa yang dapat mengimplementasikan kesalehan individual dan sosial serta bermanfaat bagi sesama menuju ridlo Allah SWT.

Hadir juga menjadi narasumber pada kesempatan tersebut, H. Seraden Nihan MH yang merupakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bandar Lampung. Acara ini dipandu oleh salah satu presenter tv swasta di Lampung, Yudith Samantha. (Muhammad Faizin/Abdullah Alawi)

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah News, Santri, Nahdlatul Ulama PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 03 April 2017

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman?

Assalamu’alaikum wr. wb

Redaksi Bahtsul Masail PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terhormat, terlebih dahulu saya mohon maaf. Sebenarnya ini adalah pertanyaan dari teman saya yang baru masuk Islam. Ia punya saudara laki-laki masih nonmuslim dan belum lama meninggal dunia. Yang ia tanyakan, apakah ia boleh ikut memandikan jenazahnya dan mengiringinya ke pemakaman? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (nama dirahasiakan/Medan)

Jawaban

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman? (Sumber Gambar : Nu Online)
Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman? (Sumber Gambar : Nu Online)

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman?

Assalamu’alaikum wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Jika ada seorang muslim meninggal dunia, ia berhak untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Kewajiban mengurus jenazah itu tentunya dibebankan oleh orang muslim yang hidup. Sampai di sini jelas tidak ada persoalan, semuanya klir.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Lantas bagaimana jika yang meninggal dunia adalah orang nonmuslim? Menshalatinya jelas diharamkam sebagaimana ditegaskan Al-Qur`an dan ijma’ para ulama. Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Adapun menshalati jenazah orang kafir dan memintakan ampun untuknya, hal itu adalah haram sebagaimana ketetapan nash Al-Qur`an dan ijma` ulama,” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1421 H/2010 M, juz, V, h. 190).

Lantas, bagaimana dengan memandikan, mengiringi jenazah orang kafir, dan ikut memakamkannya? Dalam hal ini para pakar hukum Islam (fuqaha`) berselisih pendapat. Tetapi, menurut pendapat madzhab Syafi’i hal tersebut diperbolehkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab berikut ini.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?. “Tentang memandikan jenazah orang kafir, kami telah menyebutkan bahwa pendapat madzhab kami menyatakan, orang muslim boleh memandikan jenazah orang kafir, mengubur, dan mengiringi jenazahnya. Ibnul Mundzir menukilnya dari kelompok rasionalis (ashhab ar-ra’y) dan Abi Tsaur. Sedangkan menurut Imam Malik dan Ahmad, orang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan jenazah orang kafir. Tetapi Imam Malik menyatakan, ia (muslim) boleh ikut menguburnya,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz, V, h. 195).

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahlussunnah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 02 April 2017

Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi mendukung pengajian rutin ? Muslimat NU DKI Jakarta. Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi menyatakan apresiasinya terhadap gerakan sosial-keaagamaan Muslimat NU DKI Jakarta.



Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta (Sumber Gambar : Nu Online)
Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta (Sumber Gambar : Nu Online)

Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta

Dukungan itu disampaikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta dalam sambutan peringatan maulid Nabi Muhamad SAW di muka masjid Al-Jihad kantor PWNU Jakarta Pusat, Sabtu (9/2) siang.

Demikian dikatakan oleh Sekretaris PW Muslimat NU DKI Jakarta Maghfiroh, Sabtu (9/2) sore. Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta rutin diadakan satu kali dalam sebulan di halaman kantor PWNU Jakarta, jalan Talang nomor 3, Jakarta Pusat.

“Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta diharapkan turut serta dengan Pemda DKI Jakarta dalam menciptakan pemberdayaan dan ketenteraman masyarakat khususnya di DKI Jakarta,” kata Jokowi yang dikutip oleh Maghfiroh.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Seperti dikutip Maghfiroh, Jokowi menambahkan bahwa Muslimat NU DKI Jakarta selama ini telah menunjukkan kontribusinya dalam pembangunan sosial DKI Jakarta. Muslimat NU Jakarta belakangan melibatkan diri secara konkret dalam penanganan bencana banjir pada sebagian titik di Jakarta.

Dalam sambutannya, Jokowi sempat menjanjikan 3 buah sepeda bagi jamaah Muslimat NU DKI Jakarta yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Gubernur, tutup Maghfiroh.

?

Foto: Jokowi ketika bersilaturrahim ke kantor PBNU

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Penulis: Alhafiz Kurniawan

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Meme Islam PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 30 Maret 2017

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah

Oleh: Munawir Aziz

Belajar kepada Kiai Wahab Chasbullah adalah belajar tentang semangat pergerakan kebangsaan yang tidak pernah pudar. Kiai Wahab atau Mbah Wahab, yang lahir pada 31 Maret 1888 merupakan salah satu tokoh penting dalam historiografi Indonesia, pesantren dan NU. Perannya dalam mengokohkan nilai-nilai Islam Indonesia dan menegakkan NKRI tidak bisa dilupakan. Pada momentum Hari Lahir Nahdlatul Ulama, pada 16 Rajab, sosok Kiai Wahab perlu direnungkan sebagai inspirasi.

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah (Sumber Gambar : Nu Online)
Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah (Sumber Gambar : Nu Online)

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah

Gerak perjuangan Kiai Wahab menjadi renungan di tengah tantangan Islam di negeri ini, dan konteks internasional.Tantangan tentang relasi Islam dan kebangsaan menjadi isu dinamis dalam diskursus global. Mencuatnya radikalisme keagamaan, sebagaimana ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) dan jaringan al-Qaeda, merupakan tantangan bagaimana umat muslim berdialog dengan konsep kenegaraan dan kebangsaannya. Apalagi, perkembangan Islam di kawasan Asia dan Timur Tengah, tidak bisa dilepaskan dari dinamika etnik dan lintas ideologi. Untuk itulah, merenungkan jejak langkah Mbah Wahab Chasbullah pada momentum hari lahir Nahdlatul Ulama, tentu menjadi inspirasi berharga.

Kiprah kiai-kiai pejuang dari pesantren tidak banyak tertulis dalam historiografi Indonesia. Tentu saja, politik pengetahuan menjadi instrumen utama untuk menganalisis terpinggirnya peran kiai dan tokoh pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pada abad XIX, santri menjadi barisan terdepan dalam Perang Jawa (1825-1830), yang dikomando Pangeran Dipanegara. Laskar pimpinan Kiai Maja, Kiai Hasan Besari dan Sentot Ali Basya, menyelaraskan gerakan perlawanan Dipanegara selain laskar ksatria yang Pangeran Sastradilaga. Perjuangan santri tidak banyak ditulis dalam politik ingatan, justru ditenggelamkan sebagai mitos dan ilusi.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pada masa revolusi, jaringan santri-kiai berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan serdadu kolonial. Seruan fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’arie (1871-1947) menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama pada November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa, Semarang (Bizawie, 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern.

Kiprah Kebangsaan Kiai Wahab

Kiai Wahab Chasbullah merupakan tokoh penting dalam perjalanan kaum pesantren menegakkan Indonesia. Ia bersama hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, menjadi garda depan dalam pembentukan jaringan pesantren pasca Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Dipanegara, yang menjadi jejaring lahirnya Nahdlatul Ulama.

Kiai yang lahir pada 1888, di Tambakberas, Jombang ini merupakan santri tulen berjiwa aktivis, tidak pernah tinggal diam melihat wajah rakyat Indonesia yang terhimpit kuasa penjajah. Ia juga tidak rela melihat komunitas santri direndahkan oleh rezim kolonial dan tradisi feodal elite priyayi negeri ini. Kiai Wahab Chasbullah menahkodai NU selepas wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, pada 1947. Kiai Wahab memimpin NU hingga tahun 1971. Rentang waktu sekitar 23 tahun tentu saja menjadi perjalanan panjang Kiai Wahab memimpin NU, di samping kiprahnya pada usia muda.

Kiai Wahab mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan pada 1916, untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Selanjutnya dua tahun kemudian, pada 1918, ia bersama beberapa tokoh pergerakan nasional, semisal Dr. Soetomo mendirikan Tasywirul Afkar (gerakan pemikiran), untuk mengokohkan dinamika pemikiran kebangsaan. ?

Kemudian, untuk menopang pergerakan dan perjuangan kebangsaan, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar pada 1918. Gerakan ini, dimaksudkan untuk mengokohkan pondasi ekonomi bagi gerakan-gerakan sosial-kebangsaan yang diperjuangkan Kiai Wahab. Nahdlatut Tujjar dipimpin langsung oleh Kiai Hasyim Asy’arie, sedangkan Kiai Wahab sebagai sekretarisnya.

Dengan demikian, strategi gerakan Kiai Wahab terasa komplit dan seimbang. Ia membangun wawasan kebangsaan melalui Nahdlatul Wathan, dengan ditopang Tasywirul Afkar sebagai dinamika pemikiran. Selanjutnya, Nahdlatut Tujjar menjadi penggerak energi dan penopang basis ekonomi bagi gerakan sosial-kebangsaan ini.

Benteng Islam Nusantara

Kiai Wahab Chasbullah juga menjadi pionir dalam membentengi ekspansi Wahabi mellaui internasional. Ketika aliran Wahabi dari Najed Arab mulai menguasai Makkah pada 1924 dan Madinah pada 1925, Kiai Wahab bergerak mengkonsolidasi jaringan pesantren di Indonesia untuk menyuarakan aspirasi tentang Islam yang moderat dan toleran ala ahlussunnah wal-jama’ah, yang menjadi dasar gerakan NU.

Gerakan konsolidasi ini, dikuatkan dengan lahirnya NU pada 31 Januari 1926, yang kemudian mengirim Kiai Wahab dan Syekh Ghonaim al-Misri untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibn Saud. Diplomasi Kiai Wahab ini kemudian diterima dengan baik oleh Raja Abdul Aziz, sehingga makam Nabi Muhammad tidak jadi dibongkar, serta ulama-ulama dari empat mazhab dibebaskan.

Kiai Wahab, dengan demikian tidak hanya bergerak dalam perjuangan Islam di negeri ini, ia telah berperan dalam jaringan diplomasi internasional. Peran Kiai Wahab inilah yang perlu menjadi inspirasi dalam momentum Hari Lahir Nahdlatul Ulama. Peran Kiai Wahab bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Saifuddin Zuhri dan jaringan ulama lainnya, tentu menjadi catatan penting dalam konteks dan historiografi Islam Nusantara.

Kiai Wahab mengajarkan kepada kita, agar seimbang dan kokoh dalam mengelola pergerakan;dengan membangun semangat kebangsaan (melalui Nahdlatul Wathan), mengembangkan pemikiran-pemikiran strategis (Tasywirul Afkar) dan menguatkan pondasi ekonomi sebagai energi pergerakan (lewat Nahdlatut Tujjar). Spirit Kiai Wahab inilah, yang seharusnya menjadi aspirasi bagi penerus dan pemimpin Nahdlatul Ulama, pada saat ini maupun mendatang. Bergerak dengan nyali, menyusun konsep strategis serta mengeksekusi lewat totalitas dan keikhlasan. Semoga.

Penulis adalah penulis buku ‘Pahlawan Santri’ (Pustaka Compass, Mei, 2016), Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, dapat disapa via @MunawirAziz



Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaSantri, Kyai, Anti Hoax PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rabu, 29 Maret 2017

Digital Native dan Digital Immigrant, Dua Generasi di Dunia Maya

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Saat ini ada dua generasi di era global berbasis digital dan internet, yaitu Digital Native dan Digital Immigrant. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Agama dan Nasionalisme, Surya University, Imam Malik Riduwan dalam Workshop Metode dan Best Practice mengenai Countering Violent Extremism (CVE), Rabu (9/9) di Hotel Golden Palace, Mataram, NTB.

Malik menjelaskan, yang diamaksud dengan Digital Native bisa dikatakan sebagai penduduk asli dunia maya. “Artinya, seseorang lahir, di mana internet sudah ada dengan beragam media sosialnya,” jelasnya.

Digital Native dan Digital Immigrant, Dua Generasi di Dunia Maya (Sumber Gambar : Nu Online)
Digital Native dan Digital Immigrant, Dua Generasi di Dunia Maya (Sumber Gambar : Nu Online)

Digital Native dan Digital Immigrant, Dua Generasi di Dunia Maya

Sedangkan Digital Immigrant, terangnya, yaitu peralihan seseorang dari dunia tanpa digital ke dunia digital. Dijelaskan Malik, bahwa kelompok ini saat lahir tidak ada internet atau generasi yang baru belakangan kenal internet. Tetapi bimbingannya sangat dibutuhkan oleh generasi Digital Native dalam menyikapi segala sesuatu yang berkembang di dunia maya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kelompok Digital Immigrant saat lahir tidak ada internet dihadapannya, kata Malik, tetapi kelompok inilah yang berkewajiban memberikan edukasi sehingga generasi muda tidak mudah terpengaruh dengan informasi-informasi negatif yang cenderung menanamkan paham radikal.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Sebab itulah, kegiatan-kegiatan seperti ini merupakan upaya dari Digital Immigrant dalam membimbing generasi muda di era digital,” tegasnya.

Dalam sesi dua bertopik ‘Pengembangan Program CVE dalam Penguatan Toleransi dan Penanggulangan Radikalisme serta Terorisme di Indonesia’ ini menghadirkan narasumber lain, yaitu Aktivis Pendidikan Anak, Irfan Amali, Aktivis Media Sosial, Budi Trisna, dan dari Edukasi 101, Winastawan Gora Swajati, serta Herry Sudrajat dari BNPT. (Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kajian, Nahdlatul, Ubudiyah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 28 Maret 2017

Kiai Abbas Buntet: Kiai Sufi Pejuang Negeri

Salah satu kiai yang menjadi pejuang pada masa revolusi ialah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet Cirebon. Kiai Abbas merupakan kiai kharismatik, yang dikenal karena pengetahuan keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan yang menjadikan beliau sebagai rujukan dalam perang kemerdekaan. Kiai Abbas, dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama, yang menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA, dalam perang kemerdekaan di Surabaya, November 1945. Uniknya, Kiai Abbas menggunakan bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan pesawat tempur musuh. Bagaimana kisahnya?

Kiai Abbas merupakan putra sulung dari Kiai Abdul Jamil, pengasuh pesantren Buntet, Cirebon. Beliau lahir pada 24 Dzulhijjah 1300 H/1879 M, di Cirebon, Jawa Barat. Pada masa kecilnya, Kiai Abbas belajar mengaji dengan Kiai Nasuha Plered Cirebon dan Kiai Hasan, Jatisari. Setelah itu, Abbas kecil berkelana untuk mengaji ke Tegal, di bawah asuhan Kiai Ubaedah. Setelah itu, menuju Jombang, Jawa Timur untuk mengaji kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.

Kiai Abbas Buntet: Kiai Sufi Pejuang Negeri (Sumber Gambar : Nu Online)
Kiai Abbas Buntet: Kiai Sufi Pejuang Negeri (Sumber Gambar : Nu Online)

Kiai Abbas Buntet: Kiai Sufi Pejuang Negeri

Pada kisaran tahun 1900an, Kiai Abbas datang untuk belajar ke pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau datang bersama saudaranya, yakni Kiai Sholeh Zamzam, Kiai Abdullah Pengurangan, dan Kiai Syamsuri Wanatar. Pada waktu itu, pesantren Tebu Ireng masih sering diganggu oleh musuh, yakni berandal-berandal lokal di sekitar Pabrik Gula Cukir. Bersama santri-santri lainnya, Kiai Abbas membantu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari melawan bandit lokal yang mengganggu pesantren. Akhirnya, para berandal lokal dan bandit-bandit kecil kalah dalam adu ilmu kanuragan (Masyamul Huda, 2014). PesantrenTebu Ireng menjadi aman, serta jadi rujukan santri untuk mengaji.

Ketika belajar di pesantren, bakat sebagai pemimpin, ahli ilmu, ahli strategi dan watak periang sudah terlihat dalam diri Kiai Abbas. Beliau berkawan karib dengan Kiai Wahab Chasbullah, putra Kiai Chasbullah Said, Tambakberas, Jombang. Setelah melalang buana di pesantren Jawa, Kiai Abbas kemudian menikah dan berangkat haji ke tanah suci. Di tanah Arab, Kiai Abbas bertemu dengan banyak kawan asal Nusantara yang belajar di Hijaz. Ia banyak diskusi dengan mereka, untuk memperdalam pengetahuan agama dan wawasan global.

Kemudian, Kiai Abbas pulang sebentar ke tanah air, dan kembali lagi ke tanah suci untuk belajar. Di Makkah, Kiai Abbas menjadi santri Syekh Ahmad Zubaidi. Kiai Abbas juga belajar kepada Syekh Mahfudh at-Termasi dan Syaikh Chatib al-Minangkabawi. Di tanah suci, Kiai Abbas dengan tekun belajar, diskusi dan menggelar pelbagai majlis ilmu bersama kawan-kawannya. Pada usia 40 tahun, Kiai Abbas mendapatkan tugas sebagai pengajar.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mengembangkan Pesantren Buntet

Sekembali ke tanah air, Kiai Abbas kemudian mengembangkan pesantren Buntet, yang menjadi peninggalan ayahandanya. Di bawah asuhan Kiain Abbas, pesantren Buntet menjadi ramai oleh santri dan terkenal sebagai salah satu rujukan dalam mengaji serta memperdalam ilmu Islam. Bagi Kiai Abbas, siapa saja boleh datang untuk mengaji di pesantren, untuk belajar berbagai macam ilmu. Pengetahuan dan wawasan yang diperoleh Kiai Abbas ketika belajar di pesantren dan mengaji di tanah suci, digunakan untuk menguatkan model pendidikan pesantren Buntet. Di pesantren ini, pada masa Kiai Abbas, bermacam ilmu diajarkan, dari ilmu al-Qur’an, ilmu Qiroat, Hadist, Tauhid hingga kanuragan menjadi bagian dari tradisi pembelajaran santri.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kiai Abbas, selain mengasuh santri, juga menjadi _mursyid_ tarekat Syattariyah dan _muqoddam_ tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai dengan pikiran yang terbuka. Ketika beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah, Kiai Abbas menerima sebagai salah satu alternatif dalam laku batin. Di Cirebon, dalam perkembangannya, tarekat Tijaniyah berkembang, dengan Kiai Abbas dan Kiai Annas sebagai muqoddamnya. Kiai Annas kemudian melahirkan beberapa kiai yang menjadi penerus muqoddam dalam praktik tarekat Tijaniyyah: Kiai Muhammad (Brebes), Kiai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad Rais (Cirebon), Kiai Murtadho (Buntet), Kiai Abdul Khair, Kiai Hawi (Buntet), serta Kiai Soleh (Pesawahan). Sedangkan, Kiai Abbas mencetak beberapa penerus dalam tarekat ini, yakni: Kiai Badruzzaman (Garut), Kiai Ustman Dlomiri (Cimahi, Bandung), serta Kiai Saleh dan Kiai Hawi (Buntet) (Muhaimin, 2006: 264).

Kiai Abbas menjadikan pesantren Buntet sebagai rujukan santri. Beliau menambah staf pengajar untuk mengakomodasi kebutuhan santri-santri dalam belajar berbagai macam ilmu. Kiai Abbas juga mendirikan madrasah yang dipadukan dengan pendidikan sekolah. Madrasah inilah yang dinamakan Abna’oel Wathan, yang menegaskan visi perjuangan Kiai Abbas dalam membangun fondasi negara.

Pejuang Revolusi

Kiai Abbas Buntet merupakan murid dari ulama Nusantara yang menjadi penyambung sanad para kiai: Kiai Nawawi al Bantani dan Syech Mahfudh at-Tirmasi. Selain Kiai Nawawi, ada beberapa murid lain yang juga menjadi kiai-kiai penting di Jawa, sebagai jaringan penggerak Nahdlatul Ulama. Di antaranya: Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muhammad Bakri bin Nur, Kiai Asnawi Kudus, Kiai Muammar bin Baidlawi Lasem, Kiai Ma’shum bin Muhammad Lasem, Haji Ilyas (Serang), Tubagus Muhammad Asnawi dan Abdul Ghaffar dari Caringin (Burhanuddin, 116).

Kiai Abbas, adalah sosok pejuang yang mencintai tanah air, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau menggembleng santri agar semangat memperjuangkan agama dan negara. Bahkan, pesantren Buntet juga menjadi markas latihan laskar Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan PETA. Kiai Abbas juga membentuk dua regu laskar santri, yang dinamakan Asybal dan Athfal.

Dikisahkan, dalam pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas menggenggam pasir yang ditaburkan ke arah musuh. Aksi ini membuat musuh kocar-kacir, karena seakan-akan pasir yang ditaburkan menjadi meriam dan bom yang menghancurkan.

Sebelum pertempuran ini, Kiai Abbas juga ikut andil dalam keputusan Resolusi Jihad, yang merupakan keputusan para Kiai dalam rapat Nahdlatul Ulama di Bubutan, Surabaya, pada 21-22 Oktober 1945. Beberapa kiai, di antaranya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Abbas Buntet, Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai lainnya berkumpul dalam sebuah majlis untuk membahas penyerbuan tentara NICA (_Netherlands Indies Civil Administration_). Fatwa Jihad yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari akhirnya menjadi catatan sejarah, sebagi pengobar semangat kaum santri untuk berjuang mempetahankan negeri.

Pada pertempuran 10 November 1945, Kiai Abbas ikut membaur dengan pejuang dari kalangan Kiai yang berpusat di Markas Ulama, di rumah Kiai Yasin Blauran Surabaya. Di rumah ini, para kiai berkumpul untuk merancang strategi, menyusun komando serta memberikan suwuk/doa kepada para santri pejuang yang bertempur melawan penjajah (Amin, 2008: 72)

Setelah masa perjuangan kemerdekaan, Kiai Abbas mendapat amanah sebagai anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)—yang kedudukannya sebagai DPR sementara. Kiai Abbas mewakili area Jawa Barat, dalam kedudukannya sebagai anggota KNIP.

Kiai Abbas dikenal sebagai kiai yang memiliki ilmu kedigdayaan yang tinggi pada masa hidupnya. Beliau tak hanya berilmu agama mendalam, namun juga dikenal digdaya dan ampuh. Kemampuan Kiai Abbas dalam bidang _psychokinesys_—yang berangkat dari Cirebon menuju Surabaya dalam sekejap hentakan kaki, merupakan karomah yang diberikan Allah kepada beliau (Amin, 2008: 72). Inilah potret Kiai Abbas yang berjuang dengan ikhlas dan rela untuk menjaga negeri dari tangan penjajah. Sudah selayaknya, perjuangan Kiai Abbas menjadi referensi pewaris negeri, sebagai pahlawan dari kaum santri.

Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU, (@MunawirAziz)

Referensi:

Abdul Ghoffir Muhaimin, The Islamic Tradition of Cirebon: Ibadat and Adat among Javanese Muslim, Canberra: ANU Press, 2006.

_____________________________. Pesantren and Tarekat in the Modern Era: An Account of the Transmission of Traditional Islam in Java, Jakarta, Studia Islamika, 1997.

Abdul Wahid, Peranan Pondok Pesantren Buntet Cirebon bagi Kemajuan Lingkungan Pendidikan di Lingkungan Sekitar 1958-2009, Universitas Negeri Semarang, 2012.

Hasan AZ, Perlawanan dari Tanah Pengasingan: Kiai Abbas, Pesantren Buntet dan Bela Negara, Yogyakarta: LKIS. 2014.

Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Mizan, 2012.

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: LKIS. 2008.

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nasional, Makam, Olahraga PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Staimafa Pati Resmikan Pusat Bahasa

Pati, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Mathaliul Falah (Staimafa) Pati meresmikan Lembaga Pusat Bahasa Mathaliul Falah (Pushami) yang dilakukan oleh Ketua Staimafa Abdullah Gaffar Rozin, M.Ed.?

Dalam sambutan, Gus Rozin mengatakan kelahiran Pushami diharapkan mampu menciptakan civitas akademika Staimafa yang memiliki kemampuan bahasa asing melalui program-program kebahasaan yang strategis.

Staimafa Pati Resmikan Pusat Bahasa (Sumber Gambar : Nu Online)
Staimafa Pati Resmikan Pusat Bahasa (Sumber Gambar : Nu Online)

Staimafa Pati Resmikan Pusat Bahasa

Acara dimulai pukul 09.30 s/d 10.30 WIB di Auditorium Staimafa. Oleh panitia, peresmian dirangkai dengan seminar TOEFL-TOAFL. Hadir sebagai narasumber, Dr. Otong Setiawan Djuharie dari UIN Bandung dan Muhajir M.Pd.I. dari UIN Yogyakarta. Dalam seminar, Otong menunjukkan trik dan tips mengerjakan TOEFL, sedangkan Muhajir menyoroti konsep dan konstruksi TOAFL. Peresmian ini juga dimeriahkan bazar buku dari penerbit Yogyakarta.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selain itu seperti diungkapkan Direktur Pushami, Khabibi Muhammad Luthfi mulai pukul 10.40 s/d 21.00 WIB acara dilanjutkan dengan Training of Trainers (ToT) TOEFL-TOAFL. Peserta ToT berjumlah sebelas, yang dibagi menjadi lima untuk TOAFL dan enam untuk TOEFL. Ke depan, para calon Tutor Pushami ini disiapkan sebagai tenaga pengajar pada program-program kebahasaan, khususnya kursus TOEFL-TOAFL bagi dosen dan mahasiswa.? ?

Disela-sela rangkaian acara itu, secara khusus, Pembantu Ketua I Ahmad Dimyati M.Ag. berharap pada semester ini Pushami mampu menyelenggarakan tes TOAFL-TOEFL secara mandiri. Tujuannya, imbuh Dimyati, untuk menguji dan memotivasi kompetensi bahasa asing civitas akademika Staimafa. Bahkan, dalam jangka dekat, “Insya Allah tahun ini sertifikat TOEFL-TOAFL akan dijadikan sebagai salah satu syarat ujian skripsi di Staimafa”, ungkap kandidat Doktror ini. (isyrokh fuaidi/mukafi niam)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Santri, Nahdlatul, Tegal PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah