Rabu, 09 Mei 2012

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan saat ini toleransi yang ada di dunia sedang menghadapi cobaan. Karena itu, NU terus berjuang untuk menumbuhkan toleransi baik antar agama maupun diantara aliran dalam satu agama.

Hal ini disampaikannya ketika memberikan sambutan pada puncak acara Global Peace Festival yang berlangsung di Gelora Bung Karno, Ahad (17/10).

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan (Sumber Gambar : Nu Online)
Toleransi sedang Menghadapi Cobaan (Sumber Gambar : Nu Online)

Toleransi sedang Menghadapi Cobaan

“Toleransi harus ditumbuhkan antara muslim dengan non muslim maupun antara muslim dengan muslim lainnya,” katanya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia mengisahkan KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur merupakan salah satu dari tim sembilan yang merumuskan pembentukan negara ini. Mereka sepakat untuk membentuk negara bangsa yang tidak didasarkan atas agama, meskipun umat Islam mayoritas di Indonesia.

Sementara itu Menakertrans Muhaimin Iskandar menyatakan pemerintah sangat mendukung kampanye perdamaian, baik antara sesama manusia maupun perdamaian antar negara.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyatakan rakyat Indonesia sepakat membentuk sebuah negara karena ingin hidup dalam damai, lepas dari penjajahan bangsa lain.

“Para pendiri negara ini, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 sepakat ikut melaksanakanketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi,” katanya.

Karena itu, UUD memberi jaminan kepada warga negara untuk melaksanakan keyakinannya, serta memiliki berbagai macam hak lainnya yang dilindungi UU. “Tak ada tempat yang tak toleran dalam konstitusi kita,” tegasnya. (mkf)Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Daerah, Tokoh PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 08 Mei 2012

MTQ Jatim: Diikuti 1.671 Kafilah, Gerakkan Perekonomian Lokal

Banyuwangi, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Jawa Timur ke-26 yang dipusatkan di Banyuwangi digelar 23-30 Mei 2015. Festival membaca kitab suci Al-Quran yang diselenggarakan Pememerintah Provinsi Jatim ini diikuti 1.671 kafilah (peserta) dan sekitar 400 pendamping dari seluruh daerah yang ada di Jatim.

Secara resmi festival dua tahunan tersebut dibuka Gubernur Jatim Soekarwo di Taman Blambangan, Sabtu malam (23/5). Pembukaan juga diisi dengan ceramah dari KH Muzakki Syah, pengasuh Ponpes Al-Qodiri Jember; serta dihibur oleh penyanyi religi Opick. Sejumlah kepala daerah di Jatim juga hadir dalam pembukaan.

MTQ Jatim: Diikuti 1.671 Kafilah, Gerakkan Perekonomian Lokal (Sumber Gambar : Nu Online)
MTQ Jatim: Diikuti 1.671 Kafilah, Gerakkan Perekonomian Lokal (Sumber Gambar : Nu Online)

MTQ Jatim: Diikuti 1.671 Kafilah, Gerakkan Perekonomian Lokal

Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, MTQ menjadi sarana syiar Islam untuk mengajak pada kebaikan dan kedamaian. MTQ juga menjadi perekat harmoni dalam mewujudkan kesejahteraan. ”Dengan akhlak yang terjaga, kesejahteraan bisa semakin dekat,” ujar Pakde Karwo, sapaan akrab Soekarwo, sebagaimana siaran pers yang diterima PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dia berharap, MTQ tidak hanya sebuah kegiatan rutin saja, namun menjadi sarana bagi warga Jawa Timur menjadi pribadi yang lebih baik. ”Melalui kegiatan ini, Pemprov Jawa Timur berharap ajaran serta prinsip-prinsip yang ada di Al-Quran bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bingkai kebangsaan yang teduh, saling mengasihi,? dan saling membantu menuju kebaikan bersama,” ujar Pakde Karwo.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

MTQ tahun ini melombakan 12 cabang lomba, antara lain lomba baca Quran golongan remaja dan tuna netra, lomba karya tulis ilmiah Al Quran, tafsir bahasa Indonesia dan Inggris, dan lomba kaligrafi.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas berterima kasih kepada Pemprov Jawa Timur yang telah memberikan kepercayaan kepada Banyuwangi untuk menjadi tuan rumah. ”Terima kasih kepada Pakde Karwo atas kepercayaannya. Semoga kegiatan ini juga bisa ikut mendorong gerak perekonomian masyarakat kami dengan kehadiran lebih dari 2.000 orang ke Banyuwangi,” kata Anas.

Anas optimistis, kegiatan MTQ bisa ikut menggerakkan perekonomian lokal. Selama sepekan berlangsungnya MTQ, juga digelar pameran produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari seluruh Jatim. Total ada 76 stan UMKM dari 38 kabupaten/kota seluruh Jatim. Selain itu, ada tambahan 70 stan UMKM lokal Banyuwangi yang menampilkan berbagai jenis produk khas Banyuwangi, termasuk kuliner lokal setempat seperti nasi tempong, rujak soto, bagiak, sale pisang, dan minuman herbal.

”Ribuan peserta dan pendamping dari seluruh Jatim tentu akan membeli oleh-oleh. Mereka juga bersantai, membeli makanan, dan mengunjungi tempat wisata di Banyuwangi. Terdapat 22 hotel di Banyuwangi yang disewa oleh para peserta/pendamping dari seluruh Jatim. Ini tentu menggerakkan perekonomian warga. Sekali lagi kami berterima kasih kepada Gubernur Jatim Pakde Karwo yang telah memberi kepercayaan kepada Banyuwangi,” kata Anas.

Sebelum pembukaan resmi, MTQ juga diramaikan oleh Pawai Taaruf yang diikuti 38 delegasi dari seluruh kabupaten/kota se-Jatim. Pawai taaruf tersebut mengenalkan budaya seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, terutama budaya dalam konteks perkembangan Islam di daerahnya. (Red: Mahbib)

Foto: Pawai Taaruf saat MTQ Jatim di Banyuwangi

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fragmen PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 30 April 2012

Gema Selawat Akhiri Pengajian Tastafi di Banda Aceh

Banda Aceh, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pengajian tauhid, tasawuf dan fiqih (Tastafi) yang digelar bulanan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh berakhir, Sabtu (7/6), sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Pantia penyelenggara menandai pengajian pamungkas tersebut dengan menggelar Gema Selawat bersama Majelis Zikra Alhasani dari Dayah MUDI Mesra Samalanga.

Shalawatan yang dilaksanakan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh ini diikuti dengan antusias warga Banda Aceh. Ketua penyelenggara, Tgk Marwan Yusuf, mengatakan, kegiatan seperti ini perlu digalakkan untuk menggugah kembali rasa cinta umat Islam kepada Rasulullah SAW.

Gema Selawat Akhiri Pengajian Tastafi di Banda Aceh (Sumber Gambar : Nu Online)
Gema Selawat Akhiri Pengajian Tastafi di Banda Aceh (Sumber Gambar : Nu Online)

Gema Selawat Akhiri Pengajian Tastafi di Banda Aceh

Selain jamaah pengajian Tastafi, hadir pula dalam majelis shalawatan ini Rabithah Alawiyyin Aceh dan tamu istimewa dari Perkumpulan Amal Mabrur Malaysia. Tamu dari Malaysia tersebut berjumlah 35 orang dari berbagai ormas termasuk dari pihak kerajaan Malaysia.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Gema Selawat ini dipandu oleh Majelis Zikra Alhasani yang dipimpin oleh Tgk. H. Sulaiman Hasan, Guru senior MUDI Mesra dan Alumni Ribath Al-Idrisy Baitul Ahdhal Yaman. Dalam acara itu, Majelis Zikra Alhasani menampilkan berbagai selawat baik Ad-Diba’i, Barzanji, Syimtuddurar, Dhiyaul lami’ dan juga syair kelebihan Ramadhan.

Acara ini diakhiri dengan tausiah yang disampaikan oleh Tgk. H. Muhammad Yusuf A. Wahab yang akrab disapa  Tusop. Ia adalah ketua I Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rencananya, acara serupa akan diadakan kembali pada pertengahan Ramadhan dalam rangka haflah Badar. Acara itu akan dikemas dengan membaca Selawat Badar, Qasidah Badar dan tausiyah tentang sejarah kejayaan umat islam dalam perang Badar yang terangkum dalam berbagai kitab hadits, seperti Shahih Bukhari Muslim. (M Iqbal Jalil/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sholawat, Pesantren PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 26 April 2012

Kitab Fiqih Manasik Berbahasa Sunda Karya KH Ma’mun Nawawi Cibarusah

Ini adalah halaman sampul dan halaman pembuka dari kitab “I’ânatun Nâsik fî Bayânil Manâsik” karangan seorang ulama Nusantara dari Cibogo, Cibarusah (Bogor—Bekasi), yaitu Ajengan Raden Ma’mun Nawawi bin Anwar (dikenal dengan Mama Cibogo atau Mama Cibarusah, w. 1395 H/ 1975 M).

Sang pengarang, yaitu KH. Raden Ma’mun Nawawi, adalah murid langsung dari para ulama besar Ahlussunnah Nusantara generasi awal abad ke-20 M, yaitu Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), Syekh Manshur ibn Abdul Hamid (dikenal dengan Guru Mansur Betawi), Syekh Muhammad Bakri ibn Sayyida (dikenal dengan Ajengan Sempur, Purwakarta), dan Syekh Mukhtar ‘Athârid al-Bûghûrî tsumma al-Makkî (ulama besar Makkah asal Bogor).

Kitab Fiqih Manasik Berbahasa Sunda Karya KH Ma’mun Nawawi Cibarusah (Sumber Gambar : Nu Online)
Kitab Fiqih Manasik Berbahasa Sunda Karya KH Ma’mun Nawawi Cibarusah (Sumber Gambar : Nu Online)

Kitab Fiqih Manasik Berbahasa Sunda Karya KH Ma’mun Nawawi Cibarusah

Kitab “I’ânatun Nâsik” berisi kajian tentang fiqih manasik ibadah haji dan umroh secara lengkap dan komprehensif, termasuk menyinggung sedikit perbedaan hukum-hukum manasik haji menurut empat madzhab. Kitab ini ditulis dalam bahasa Sunda beraksara Arab (dikenal dengan remyak atau pegon).

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dalam kolofon, didapati keterangan jika kitab ini diselesaikan di Cibarusah, pada 27 Muharram tahun 1374 Hijri (bertepatan dengan 25 September 1954 Masehi). Kitab ini kemudian dicetak oleh penerbit “al-Barokah” Bogor (tanpa tahun cetak). Versi cetakan kitab ini bertebal 91 halaman. Saya mendapatkan naskah kitab ini dari penerbitnya langsung yang juga sebuah kedai kitab di kawasan Pasar Anyar, dekat Stasiun Bogor, pada bulan Oktober tahun lalu (2016).

Dalam kata pengantarnya, KH. Ma’mun Nawawi mengatakan bahwa penulisan karya ini dilakukan karena adanya desakan dari beberapa kolega untuk tersedianya sebuah buku (kitab) yang dapat dijadikan panduan umat Muslim Sunda dalam permasalahan tata cara manasik ibadah haji dan umrah secara detail. Pengarang pun memenuhi permintaan tersebut dengan menuliskan karya ini.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sebagaimana yang ditulis oleh pengarang;

? ?. ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?2? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

(Ammâ ba’du. Maka ngendika hamba anu kacida doipna Raden Haji Ma’mun Nawawi Cibogo, pamugi Allah ngahampura kana dosa-dosa manehna jeung kana kalepatana. Ku tina seringna sababaraha dulur-duluran anu keukeuh ka simkuring hayang dipangnuliskeun manasik sareng anu patali ka dinya kalayan Madzhab Syafi’i kalawan Bahasa Sunda// Maka berkatalah hamba yang sangat lemah, Raden haji Ma’mun Nawawi dari Cibogo, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kesalahannya. Oleh karena seringnya beberapa saudara yang bersikeras meminta saya untuk dibuatkan sebuah risalah tentang manasik haji dan umrah dan hal-hal yang berkaitan dengannya dalam fiqih madzhab Syafi’i dalam bahasa Sunda …)

Dalam redaksi selanjutnya, dikatakan oleh KH. Ma’mun Nawawi bahwa dalam upaya penyusunan kitab manasik ini, beliau hanya mengutip dari beberapa kitab rujukan fiqih madzhab Syafi’i, tanpa melakukan penambahan di dalamnya. Sayangnya, kitab-kitab apa saja yang dijadikan rujukan di sini tidak disebutkan secara terperinci.

Pengarang kitab ini,yaitu KH. Raden Ma’mun Nawawi Cibarusah, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah murid langsung dari para ulama besar Ahlussunnah Nusantara generasi awal abad ke-20 M. beliau dilahirkan di Cibogo, Cibarusah (perbatasan Bogor—Bekasi) pada tahun 1334 H/ 1915 M. ayahnya bernama KH. Raden Anwar, seorang ulama besar Pasundan dari Cibarusah.

Setelah mendapatkan tempaan pendidikan dari ayahnya sendiri, pada tahun 1930 (ketika berusia 15 tahun), Ma’mun Nawawi kemudian belajar kepada KH. Tubagus Bakri di Sempur, Plered, Purwakarta, yang kelak menjadi mertuanya. Di sana beliau belajar selama 7 tahun lamanya. Beliau kemudian pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus bermujawarah di sana selama dua tahun (1937-1939). Di Tanah Suci, KH. Ma’mun Nawawi belajar kepada ulama-ulama besar Makkah.

Di antara guru-guru beliau di Makkah adalah Syekh Mukhtâr ‘Athârid al-Bûghûrî al-Jâwî tsumma al-Makkî, seorang ulama besar hadits di Masjidil Haram asal Bogor, juga kepada Syekh Bâqir ibn Nûr al-Jukjâwî tsumma al-Makkî, , seorang ulama besar di Masjidil Haram asal Yogyakarta. Selain kepada keduanya, KH. Ma’mun Nawawi juga belajar kepada Sayyid ‘Alawî ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Mâlikî al-Makkî, Syekh ‘Umar Hamdan al-Mahrasî, dan lain-lain.

Pada tahun 1939, KH. Ma’mun Nawawi pulang ke Cibarusah. Sang ayah, KH. Raden Anwar, menyuruh Ma’mun Nawawi untuk pergi ke Jawa Timur dan belajar kepada beberapa ulama di sana. Beliau pun belajar kepada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng (Jombang) dan Syekh Muhammad Ihsan Dahlan (Jampes, Kediri). KH. Ma’mun Nawawi juga belajar lagi kepada KH. Manshur Abdul Hamid di Batavia (Guru Mansur Betawi).

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1940, KH. Ma’mun Nawawi mendirikan pesantren “al-Baqiyatus Solihat” di kampung halamannya di Cibogo, Cibarusah. Pesantren tersebut pun segera berkembang menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang besar. Jumlah pelajarnya mencapai ribuan.

Ketika terjadi revolusi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, KH. Ma’mun Nawawi Cibarusah, bersama-sama dengan KH. Noer Ali Bekasi (pendiri Pesantren At-Taqwa Bekasi) dan KH. Raden Abdullah bin Nuh Cianjur (pendiri pesantren al-Ihya Bogor), atas perintah guru mereka Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, keduanya pun membentuk dan memimpin Laskar Hizbullah (tentara perjuangan kemerdekaan RI berbasis pesantren) region Krawang-Bekasi-Bogor dan sekitarnya. Pesantren Cibarusah pun menjadi markas utama pelatihan militer bagi ribuan Laskar Hizbullah.

Selain dikenal sebagai ulama pejuang, KH. Ma’mun Nawawi juga dikenal sebagai ulama yang produktif melahirkan karya tulis. Upaya ini meneruskan ikhtiar yang telah dilakukan oleh mertua beliau, yaitu KH. Tubagus Bakri Sempur Purwakarta, yang juga produktif menulis kitab. Kebanyakan karya KH. Ma’mun Nawawi ditulis dalam bahasa Sunda beraksara Arab, dalam pelbagai bidang keilmuan Islam.

Di antara karya-karya beliau adalah; (1) I’ânatun Nâsik fî Bayânil Manâsik, (2) al-Taisîr fî ‘Ilmil Falak, (3) Bahjatul Wudlûh, (4) Hikâyatul Mutaqaddimîn, (5) Îdlâtul Mubhamât, (6) Risâlatuz Zakâh, (7) Kasyful Humûm wa al-Ghumûm, dan lain-lain.

KH Ma’mun Nawawi wafat di Cibarusah pada bulan Muharram 1395 Hijri (bertepatan dengan Februari 1975 M). Pesantren Cibarusah kini diampu oleh putra beliau, yaitu KH Raden Jamaluddin Ma’mun. Ilâ rûh KH Ma’mun Nawawi, al-Fâtihah. (A. Ginanjar Sya’ban)



Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Lomba PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 14 April 2012

Merawat Tuah Pesantren

Oleh Islah Gusmian

Sebelum era awal 1970-an, peran dunia pesantren jarang diperbincangkan di ruang akademik oleh para akademisi dan peneliti. Kemenangan partai NU pada Pemilu 1955—fakta politik tentang pengaruh besar kiai pesantren di bidang politik—tidaklah banyak dilihat sebagai peran pesantren yang ditopang oleh kiai. Sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah di era rezim Orde Baru juga tidak menyediakan ruang yang leluasa tentang peran pesantren dan orang-orang pesantren dalam perjuangan fisik di masa revolusi.

Merawat Tuah Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)
Merawat Tuah Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)

Merawat Tuah Pesantren

Setelah gerakan Islam transnasional berjubel di Indonesia dan tumbuhnya pesantren-pesantren yang menopangnya, dalam konstelasi global, dunia pesantren justru lebih sering (di)muncul(kan) sebagai sarang teroris. Bahkan, dalam konteks nasional muncul sejumlah pesantren—yang bisa jadi tidak terdaftar dalam database Kementerian Agama RI—dengan tanpa ragu dan rasa malu menolak nasionalisme, emoh NKRI, serta dengan nyinyir menuding Pancasila sebagai thaguth.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tulisan singkat ini akan melihat tiga tradisi penting yang dibangun oleh dunia pesantren, yaitu tradisi pendidikan, jejaring, serta gerakan sosial dan politik. Ketiganya merupakan tuah yang harus dirawat dengan baik dalam kerangka Islam dan keindonesiaan.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pendidikan Pesantren



Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pernah mencita-citakan dan ingin mengembangkan sistem pendidikan pesantren sebagai sistem pendidikan nasional, yang secara praktis kemudian diwujudkan oleh muridnya, Ki Sarino Mangunpranoto, ketika mengembangkan sekolah Farming di Ungaran, Semarang. Dalam kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo, Juni 1935,? dr. Sutomo juga pernah mengusulkan pendidikan pesantren sebagai pendidikan nasional. Sayang, oleh Takdir Alisyahbana, usulan itu ditanggapi dengan dingin dan dianggap sebagai anti intelektualisme.

Sutomo melirik dunia pesantren bukan tanpa alasan. Setidaknya ada lima hal mengapa pesantren menjadi pilihan, yaitu dalam dunia pesantren ada hubungan akrab dan intens antara santri dan kiai; lulusannya ternyata mampu masuk dalam dunia lapangan pekerjaan secara merdeka; kehidupan kiai yang sederhana; dan? model pendidikannya berjalan duapuluh empat jam.

Karakteristik pendidikan pesantren memang berbeda dengan pendidikan ala Barat. Dalam dunia pesantren, praktik pendidikan bukan sekadar soal transfer ilmu pengetahuan (golek ilmu), tetapi juga transfer nilai (olah laku) dan spritual (olah rasa). Dalam hal transfer ilmu pengetahuan, berbagai bidang ilmu keagamaan dipelajari dan menghormati sistem sanad keilmuan, mulai dari bidang fiqih, ushul fiqih, tauhid, ilmu Al-Qur’an dan tafsir, tasawuf, mantiq, tata bahasa, sastra, hingga ilmu ketabiban dan doa-doa.

Keragaman bidang ilmu ini menjadi salah satu latar tumbuhnya pesantren-pesantren yang berciri khusus dengan satu bidang ilmu, meskipun bidang ilmu yang lain juga dipelajari. Misalnya, pesantren Al-Munawwir Krapyak, Al-Muayyad Solo, dan Kalibeber Wonosobo, dikenal sebagai pesantren Al-Qur’an. Ada pesantren yang dikenal di bidang ilmu tata bahasa, misalnya pesantren Sarang Rembang dan Ploso Kediri. Ciri khusus ini dinisbahkan pada kepakaran kiai yang ngesuhi pesantren-pesantren tersebut.

Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa keilmuan yang dikembangkan pesantren hanya berkisar pada bidang fiqih dan tasawuf tidaklah sepenuhnya tepat, karena pada kenyataannya di pesantren diajarkan beragam disiplin ilmu. Secara intelektual, para kiai pesantren membuktikannya melalui berbagai anggitan dalam bidang yang beragam. Misalnya, kiai pesantren juga menulis tafsir: Kiai Saleh Darat Semarang menulis tafsir Faidl al-Rahmân, Kiai Muhammad ibn Sulaiman ibn Zakaria Solo menulis Tafsîr Jâmi’ al-Bayân min Khulashah Suwar al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi menulis tafsir Raudlah al-‘Irfân, Kiai Bisri Mustafa Rembang menulis Al-Ibrîz? dan Kiai Misbah Mustafa Bangilan menulis? Al-Iklîl fi Ma’âni al-Tanzîl, dan Kiai Baidhawi Siraj Kajen menulis Madhraf al-Basyîr ‘ala Nadh ‘ilm Tafsîr, penjelas atas karya Syekh Abdul Aziz.

Dengan model sorogan, bandongan, dan klasikal, pendidikan pesantren menumbuhkan penguasaan santri atas subjek-subjek keilmuan secara terbuka, utuh, dan detil. Ditambah pula, tradisi musyawarah keilmuan yang hidup di kalangan santri, secara alamiah mengajarkan kesadaran tentang prinsip-prinsip ilmiah (pentingnya maraji’ dan i’tibar yang jelas dan akurat) dan penghargaan atas pandangan serta analisis yang beragam dan berbeda. Terkait hal ini, dalam “kamus” pesantren dikenal istilah qîla dan wa qâla ba’dluhum. Istilah ini menunjukkan tentang kesadaran adanya keragaman pandangan dalam satu masalah keagamaan. Keragaman pandangan ini diperkenalkan bukan hanya di bidang fiqih, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu lain, seperti ilmu tata bahasa, yang di dalamnya diperkenalkan keragaman pandangan, misalnya adapandangan ulama Basrah dan ulama Kufah.

Kesadaran tentang keragaman dan perbedaan pandangan ini merupakan aset utama dalam merajut ukhuwah, toleransi, dan saling menghargai antarsesama Muslim. Betapapun kerasnya perbedaan pandangan keagamaan, sejauh tidak mengusik pondasi dan prinsip keimanan, dalam tradisi pesantren tidak pernah dikenal sikap mudah mengkafirkan orang. Orang-orang pesantren menyadari bahwa salah satu tugas pesantren adalah mengislamkan orang kafir, bukan sebaliknya: mengkafirkan orang Islam. Bagi orang-orang pesantren, dakwah Islam itu dilakukan dengan mengajak, bukan mengejek; merangkul bukan memukul. Dan orang-orang pesantren mempunyai kemampuan adaptasi dan adopsi yang sangat lincah dan indah atas nilai-nilai dan tradisi lokal serta tidak terjebak pada sikap puritanistik.

Selain kultur ilmiah dalam tradisi keagamaan, pesantren juga mewariskan tradisi transfer nilai. Hubungan dan menyatunya kiai-santri selama 24 jam dalam satu ruang sosial, tidakl hanya bersifat keilmuan, tetapi juga bersifat praktis dan emosional. Di sini, pendidikan bukan melulu urusan kesuksesan membaca kitab kuning yang dikenal rumit, tetapi juga bagaimana santri meneladani kiai dan kiai memberikan keteladanan dalam masalah-masalah sosial keagamaan. Dengan demikian, aspek praktis dari sebuah ilmu terinternalisasi dalam tindakan individu. Santri diajak untuk mengerti, memahami dan melaksanakan nilai-nilai sosial, budaya, dan politik. Kenyataan inilah menjadi alasan Ki Hadjar Dewantoro dan Sutomo kesengsem pada pola pendidikan pesantren.

Dalam memori para santri, kiai dan guru di pesantren menjadi satu miniatur penting sebagai pembentuk moralitas dan karakter yang berperan dalam meniti serta mengarahkan masa depan kehidupannya. Banyak catatan ditulis dan pengalaman dikisahkan di kalangan orang-orang pesantren tentang sikap, perilaku, dan pandangan para kiainya. Semua ini mencerminkan tentang adanya pengalaman yang terus hidup dan memberikan warna dalam dinamika kehidupan yang mereka jalani.

Spiritualitas dan Jejaring Dunia Pesantren

Hubungan yang intens antara kiai-santri dan ingatan personal yang terbangun, hidup, serta tumbuh, karena adanya bangunan spiritual dan keikhlasan para kiai dan kepatuhan santri. Kita sering mendengar kisah-kisah tentang spiritualitas kiai dalam mendidik para santri. Misalnya, KH Ahmad Umar Abdul Manan (1916-1980), pengasuh Pesantren Al-Muayyad, Solo yang tidak mengeluarkan santri-santri nakal dari pesantren yang ia pimpin, tetapi mereka justru ditempatkan pada urutan pertama dalam doa-doa beliau di setiap usai salat tahajud, agar kelak mereka menjadi orang yang baik, sukses, dan bermanfaat. Dan benar, santri nakal yang didoakan itu menjadi kiai dan sukses secara sosial dan spiritual. Saya dulu ngaji kitab Alfiah secara khusus kepada KH Zakwan Kajen, bersama lima teman satu kampung. Kami adalah anak dari keluarga biasa. Untuk mengikuti acara pengajian itu kami tidak dipungut syahriah, bahkan setiap malam, di akhir pengajian, oleh sang kiai, kami disuguhi bubur hangat.

Spiritualitas semacam ini, yang tak mudah ditemukan dalam sistem pendidikan di luar pesantren. Ini adalah merupakan olah roso yang membangun ingatan spiritual para santri. Hal-hal yang tampaknya mudah dan biasa, karena dilakukan dengan ikhlas dan penuh dedikasi, secara spiritual menjadi pengikat dalam jejaring yang tumbuh antar santri dan kiai. Hubungan semacam ini menyadarkan kita bahwa pendidikan tidak melulu bersifat intelektualisme, tetapi juga bersifat spiritual dan huduriyah. Kiai dan guru menjadi jalan dan penyambung bagaimana spiritualitas santri bergerak dengan benar dan agama sebagai sistem nilai sebagai ageman (pegangan).

Hal-hal semacam itu, mestinya didayagunakan sebagai salah satu bagian utama dalam membangun solidaritas dan ukhuwah di kalangan umat Islam sekarang, baik dalam konteks keagamaan maupun sosial. Disadari bahwa pesantren memiliki jejaring yang luas dalam membangun dunia spiritual yang tidak setiap lembagai pendidikan dan keagamaan memiliknya.

Cinta Tanah Air dan Pemberdayaan Umat

Harus diungkapkan dengan tegas dan terbuka bahwa orang-orang pesantren berada di garda depan dalam mempertahankan kemerdekaan negara dan bangsa. Dengan konsep cinta tanah air, orang-orang pesantren berhasil meramu konsep jihad dalam ruang kebangsaan dan kenegaraan. Kiai Subeki Parakan, misalnya, adalah tokoh penting di balik kehebatan bambu runcing. Sayangnya, nama beliau tidak ditulis dalam sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah ketika berkisah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren? merekamnya dengan detil sekaligus mendebarkan tentang peran beliau. Hadratus Syaikh Hasim Asy’ari adalah tokoh penting di balik peristiwa 10 Nopember dengan resolusi jihad yang beliau maklumatkan. Kecintaan pada NKRI juga digelorakan oleh Kiai Wahab Hasbullah dengan menggubah mars Ya Ahla al-Wathan.

Jauh sebelum kisah para kiai itu, pada era abad 18 M. kita mengenal Kiai Ahmad Rifa’i yang gigih melawan penjajah Belanda melalui syair-syair yang ditulisnya dalam aksara pegon. Dalam Abyân al-Hawâij khorasan 10, misalnya ia menulis syair:

Tanbihun, wong kafir melebu negoro Islam

Dadi raja negoro Jawi wus dawam

Iku satrune mukmin khas lan awam

Iku fardhu ain diperangi kafaham

Ngelawan raja kafir kinaweruhan

Ratu Islam maring raja kafir anutan

Bupati Demang Ngawula asih-asihan

Maring raja kafir anut parintahan.


Nasionalisme dan kesetiaan pada negara yang hidup di hati orang-orang pesantren tersebut selaiknya menjadi ingatan sosial kita dalam mengambil peran mengelola negara dan bangsa,serta pada saat yang sama menyemai nilai-nilai Islam. Secara intelektual dan konseptual, pesantren mesti menyediakan ruang dalam merawat negara dan bangsa. Ilmu-ilmu pesantren, misalnya bidang ushul fiqh, selaiknya ditransformasikan ke dalam ranah legislasi di gedung DPR dalam merumuskan undang-undang agar produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan berorientasi pada kemaslahatan umat. Orang-orang pesantren diharapkan mampu merumuskan tema-tema baru yang dibutuhkan umat dan bangsa, misalnya tentang fiqih lingkungan, fiqih kewargaan, fiqih buruh, dan yang lain.

Secara politik dan ekonomi, di antara orang-orang pesantren harus ada yang bergerak dan ambil peran. Jejaring pesantren dan ribuan jamaah yang dimilikinya, saatnya tidak lagi menjadi objek atau sekadar pasar, tetapi harus menjadi subjek. Ukhuwah haruslah melahirkan berkah secara sosial, ekonomi, dan politik bagi pesantren dan bangsa. Sungguh kini bangsa Indonesia sedang menunggu tuah pesantren.





Penulis buku "Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi"

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amalan, Humor Islam, Warta PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 10 April 2012

Bahas Gangguan Jiwa, Mahasiswa Universitas NU Lolos ke Pekan Ilmiah Nasional

Surabaya, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) akan berlangsung di Kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulsel akhir bulan depan, tepatnya 23-28 Agustus 2017. Dengan adanya even nasional, lima mahasiswi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) lolos dan ditetapkan sebagai peserta Pimnas.

Mahasiswi yang lolos ini berasal dari Fakultas Keperawatan dan Kebidanan.

Bahas Gangguan Jiwa, Mahasiswa Universitas NU Lolos ke Pekan Ilmiah Nasional (Sumber Gambar : Nu Online)
Bahas Gangguan Jiwa, Mahasiswa Universitas NU Lolos ke Pekan Ilmiah Nasional (Sumber Gambar : Nu Online)

Bahas Gangguan Jiwa, Mahasiswa Universitas NU Lolos ke Pekan Ilmiah Nasional

Ketua tim, Alfi Nur Hanifah, mengatakan, pihaknya mengangkat persoalan gangguan jiwa seperti fenomena bola salju, semakin hari semakin membesar.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Maka dari itu, Unusa mengusulkan pembentukan kader kesehatan jiwa (Karsewa) dengan lokasi di Kelurahan Wonokromo," kata Alfi saat mempresentasikan materi kepada pembimbing, Jumat (4/8) ini.

Kelurahan Wonokromo menjadi perhatian mahasiswi Unusa. Tahun 2016 lalu ada sekitar 24 kasus dan di tahun ini meningkat menjadi 37 kasus yang menderita gangguan jiwa di kelurahan ini. "Dengan data yang bersumber dari Puskesmas Kel Wonokromo, tim kader kesehatan jiwa turun ke bawah," kata mahasiswi semester enam ini.

Melihat fenomena itu, rasa kepedulian pun terlihat dari mahasiswi Unusa. Alfi mengusulkan pembentukan kader kesehatan jiwa sebagai program kreativitas mahasiswa pengabdian masyarakat (PKMM) ke Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Kami menerima dana hibah sebesar 10 juta, lalu dilakukan monev dan dinyatakan lolos untuk mengikuti Pimnas," lanjutnya.

Dengan dikukuhkannya Karsewa, tugas kelima mahasiswa Unusa ini selain memberikan pelatihan juga menyiapkan modul dan liflet sebagai pegangan para kader untuk terjun ke masyarakat.

"Kami berharap dengan modul dan liflet ini masyarakat akan makin terbuka untuk melaporkan gejala penderita gangguan jiwa, karena memang bukan penyakit yang meresahkan dan menjadi aib bagi keluarga," pungkas Alfi. (Rof Maulana/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Cerita PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 03 April 2012

NU Jangan Jadi "Silent Majority"

Majalengka, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Potensi ini semestinya dapat dimaksimalkan dalam membangun peradaban di Nusantara. NU jangan jadi silent majority.

Hal ini disampaikan Pengasuh Pesantren Al-Mizan Majalengka, KH Maman Imanulhaq, saat diminta pandangannya mengenai peran NU Subang pasca Konfercab VII yang digelar di Pesantren Pagelaran III, Rabu (21/8) lalu.

NU Jangan Jadi Silent Majority (Sumber Gambar : Nu Online)
NU Jangan Jadi Silent Majority (Sumber Gambar : Nu Online)

NU Jangan Jadi "Silent Majority"

"NU jangan jadi silent majority (mayoritas yang diam). Kelompok radikal, yang ekstremis itu sebenarnya minoritas tetapi bisa merajelela, NU yang mayoritas? sudah seharusnya berperan aktif, dalam pola dakwah misalnya, dakwah NU itu mengajak dan merangkul, bukan dakwah yang mengejek dan memukul," paparnya

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kiai Maman pun menilai bahwa kelompok ekstrim yang sedikit itu bisa seolah menjadi besar karena mereka mampu memainkan media.

"Mereka mampu membuat aksi yang sekiranya bisa naik menjadi news, jadi seolah mereka mayoritas, padahal mereka sedikit," tegasnya

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Untuk tidak menjadi silent majority, tambah Pengasuh Pesantren Al-Mizan Majalengka itu mengharapkan agar para pengurus NU berperan aktif dengan cara melakukan 3S, yaitu silaturahmi, silatulfikri dan silatulamal.

"Memperbanyak silaturhmi dengan berbagai pihak, terutama kaum tani dan nelayan, karena saya kira mereka juga warga NU," ujarnya

Selian itu, lanjut Kiai Maman,? silatulfikri juga juga perlu dilakukan, yakni menyamakan visi misi dengan berbagai pihak, terutama para pengurus, kemudian terakhir adalah silatulamal. “Yaitu bagaimana mampu merealisasikan visi misi tersebut supaya tidak hanya dalam tataran wacana saja," tukasnya.

Lebih lanjut, penulis buku Fatwa Dan Canda Gus Dur tersebut memberi masukan agar NU mampu menunjukan kinerjanya secara maksimal

"Saya melihat NU itu reaksional, seperti masjid direbut baru mulai membenahi masjid, seharusnya kalau membenahi dari dulu tentu tidak akan seperti itu, nah kalau NU terus memperlihatkan sikap yang reaksional saya kira lama-lama orang akan meninggalkan NU, karena orang akan lebih realistis melihatnya" pungkasnya. (Aiz Luthfi/Anam)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Habib PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah