Senin, 15 Desember 2014

Urgensi Lembaga Kader Fuqaha

KH MA Sahal Mahfudh. --Isu krisis ulama fiqih sering membuat kita berpikir, meski hal itu hanya sebagai sinyalemen. Di satu pihak, sinyalemen itu sebagai isu cenderung kita ingkari, karena ia memberi citra negatif tentang fenomena kekosongan pemuka agama. Mungkin akan muncul kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin.

Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat.

Urgensi Lembaga Kader Fuqaha (Sumber Gambar : Nu Online)
Urgensi Lembaga Kader Fuqaha (Sumber Gambar : Nu Online)

Urgensi Lembaga Kader Fuqaha

Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan “faqih" bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowaid al-fiqh, ishtilah al-fuqaha dan lain sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adaiah seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

***

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber ni1ai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada.

Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya.

Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin (memahami agama) yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran pesantren.

Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih.

Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masa’il diniyah (masalah-masalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren.

Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari sekolah.

Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain.

Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan.

Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan secara kolektif.

***

Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.

Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.

Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.

Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha (ahli-ahli fiqih) yang rapih dengan manajemen dan pendanaan yang memadahi.

Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqoha yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yanada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Pernah dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 1992.

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kajian Sunnah, Berita, PonPes PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 13 Desember 2014

KMNU UI Siap Jadi Tuan Rumah Musyawarah Regional

Depok, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Universitas Indonesia (UI) siap jadi tuan rumah dalam agenda Musyawarah Regional yang akan dihadiri oleh delapan perguruan tinggi. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan pada Sabtu (5/3) mendatang di Aula Setyaningrum, Pusat Kegiatan Mahasiswa UI.

Ketua KMNU UI Nurul Fauzi menyatakan Musyawarah Regional akan diikuti oleh IIUM, UNILA, UNPAD, ITB, UPI, UI, STAN, IPB dengan agenda laporan pertanggungjawaban dan reorganisasi kepengurusan.

KMNU UI Siap Jadi Tuan Rumah Musyawarah Regional (Sumber Gambar : Nu Online)
KMNU UI Siap Jadi Tuan Rumah Musyawarah Regional (Sumber Gambar : Nu Online)

KMNU UI Siap Jadi Tuan Rumah Musyawarah Regional

Ia memaparkan, Musyawarah Regional bertujuan untuk menguatkan perjuangan NU di kampus-kampus besar, agar nilai Ahlussunnah Waljamaah An Nahdliyyah dapat dilestarikan di kalangan generasi muda.

"Ya, tentunya agenda ini menjadi penting khususnya untuk mulai meningkatkan eksistensi KMNU di UI yang baru berdiri sekitar dua tahun," kata Fauzi saat diwawancarai, Ahad (28/1).

Ketua Bidang Internal KMNU UI Tomy Lutvan menambahkan, selain meningkatkan keberadaan KMNU di UI, kegiatan ini juga sebagai penguat keberadaan KMNU UI di tingkat regional.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Jelas harapannya agenda Musyawarah Regional ini menjadi starting point perjuangan NU di kampus kuning. Selain itu juga penting untuk menarik semangat pengurus KMNU UI agar ke depan semakin solid," pungkasnya. (Afifah Marwa/Zunus)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Budaya PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 12 Desember 2014

Santri Dimotivasi Kuliah Sampai di Jerman

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 29 Mei 2013, dilakukan kuliah-online melalui tele-konferensi bertema “Pendidikan di Jerman’ kerjasama Institut Studi Keislaman (Instika), Pesantren Annuqoyah, Guluk-Guluk Sumenep & NU Cabang Jerman. 

Santri Dimotivasi Kuliah Sampai di Jerman (Sumber Gambar : Nu Online)
Santri Dimotivasi Kuliah Sampai di Jerman (Sumber Gambar : Nu Online)

Santri Dimotivasi Kuliah Sampai di Jerman

Kuliah umum menghadirkan pembicara Suratno,  ketua tanfidziyah NU Jerman yang saat ini sedang melakukan riset untuk program Doktor Political Anthropology & Religion.

Muhammad Mushtafa, ketua panitia menjelaskan, kuliah online ini diikuti ratusan mahasiswi Instika dan santriwati Annuqoyah. 

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selain untuk lebih mengenalkan pendidikan di Jerman, acara tersebut diharapkan memotivasi para mahasiswi dan santriwati tentang pentingnya mendapat pendidikan yang berkualitas dan kalau bisa didorong untuk bisa kuliah di Jerman. 

Dalam paparannya, Suratno menjelaskan bahwa pemerintah Jerman menganut filosofi bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap orang yang ingin belajar. Oleh karena itu pemerintah Jerman memiliki kebijakan menggratiskan biaya pendidikan dari TK sampai perguruan-tinggi dan ini berlaku tidak hanya bagi orang Jerman tapi juga orang asing yang tinggal di Jerman. 

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kebijakan baru dilakukan pada awal tahun 2005 ketika Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan bahwa pemerintah federal tidak lagi memiliki kewenangan untuk melarang negara bagian memberlakukan kebijakan uang sekolah/kuliah. Saat ini di beberapa negara bagian masih ada yang sekolah gratis, tapi ada juga yang membayar dengan besaran sekitar 200-500 euro per-semester.  

Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pendidikan tiga jenjang SD-SLTP-SLTA, Jerman hanya memiliki dua jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gesamtschule) yang terdiri dari Gymnasium, Realschule dan Berufschule

Perbedaan lain, di Indonesia SD bertingkat dari kelas 1-6 sementara di Jerman, SD diberikan dari kelas 1-4, berdasarkan pengalaman anaknya, Nihaya (9) yang saat ini duduk di kelas 3 Grundschule. Demikian pula, di Indonesia ada SLB (Sekolah Luar Biasa), di Jerman kelas-kelas SD bersifat inklusif, yaitu siswa berkebutuhan khusus dicampur dengan siswa pada umumnya. Bahkan di beberapa sekolah, kelas 1, 2, 3, 4 untuk beberapa bulan dalam satu tahun pelajaran juga di campur. 

Di Indonesia siswa SD menerima banyak sekali pelajaran, di Jerman hanya sedikit. Nihaya hanya menerima pelajaran Matematika, Bahasa Jerman dan Inggris, Keterampilan, Musik dan Olahraga. Ada juga pelajaran agama tetapi sifatnya sukarela. 

Tidak seperti di Indonesia yang di akhir semester siswa menerima raport dengan angka warna-biru atau merah sesuai hasil test, di Jerman akhir tahun siswa menerima Schulebescheinigung yang berisi 3 lembar penjelasan guru-kelas tentang proses belajar siswa. 

Setelah menyelesaikan Grundschule 1-4, guru-kelas akan merekomendasikan siswa untuk melanjutkan ke Gymnasium, Realschule atau Berufschule sesuai dengan Schulebescheinigung masing-masing siswa dari kelas 1-4. Gymnasium diperuntukkan bagi siswa-siswa pandai yang dianggap mampu melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Jenjang ini ditempuh mulai dari kelas 7-13, dan setelah lulus mereka diberi ijazah yang dikenal sebagai “Abitur”. Jadi sebelum masuk ke perguruan tinggi, seorang siswa di Jerman menyelesaikan pendidikan pra-perguruan tinggi selama 13 tahun. 

Berufschule diperuntukkan bagi siswa-siswa yang langsung dipersiapkan memasuki dunia kerja dan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan Realschule ada di tengah-tengah keduanya. Kalau dianggap bagus, siswa dari Realschule bisa meneruskan ke Gymnasium untuk mendapatkan Abitur, atau bisa juga langsung memasuki dunia kerja. Berufschule dan Realschule ditempuh mulai kelas 5-10. 

Setelah mendapatkan Abitur, siswa langsung bisa mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi. Tidak ada tes masuk seperti SMPTN di Indonesia. Calon mahasiswa tinggal mengirimkan berkas lamarannya ke maksimal 5 universitas dan mereka akan langsung memutuskan berdasarkan nilai Abitur. Hal tersebut dimungkinkan karena pendidikan di seluruh Jerman memiliki kualitas yang sama dan merata. Sementara untuk calon mahasiswa yang tidak memiliki Abitur (alumni negara lain) wajib mengikuti Sprachkurse (Kelas bahasa Jerman, karena kuliah S1 di Jerman umumnya berbahasa Jerman sementara untuk S2 dan S3 cukup banyak yang berbahasa Inggris) dan Studienkollege (persiapan masuk universitas selama 1 tahun. 

Ada dua jenis pendidikan tinggi di Jerman, yaitu Universitäs (UNI) dan Fachhochschule/Universitas Ilmu Terapan (FH). UNI lebih menekankan ke teori dan kepadanya diberikan tanggung jawab dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Komposisi antara kuliah/teori dan praktek di UNI 60:40. Sebaliknya, FH lebih menitikberatkan ke aspek terapan, dengan komposisi kuliah/teori dan praktek 40:60. FH hanya memiliki program S1 dan S2. Sementara UNI memiliki program S1, S2, dan S3.

Suratno menjelaskan keunggulan utama pendidikan di Jerman adalah murah dan berkualitas. Program S3 yang dijalaninya hanya perlu membayar SPP 275 euro per semester, dengan fasilitas sebagai mahasiswa yang begitu banyak seperti gratis menggunakan alat transportasi di negara bagian (kereta RB, RE, S-Bahn, Trem, U-Bahn dan Bis), diskon 40% makan di mensa (kantin-kampus), diskon nonton film di Kino (bioskop), diskon mengunjungi museum dan taman, diskon nonton bola di stadion dan pertandingan olahraga lainnya, serta pertunjukan musik dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Universitas-universitas Jerman juga terkenal dengan kualitasnya baik di bidang teknologi, kedokteran, pertanian, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, ekonomi, politik, seni dan lainnya. 

Goethe-Uni Frankfurt tempat Suratno belajar sangat terkenal dalam ilmu-ilmu sosial karena telah melahirkan mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, Erich Fromm, Herbet Marcuse, Leo Lowenthal, Freidrich Pollock, Juergen Habermas, Axel Honneth, Rainer Forst dan lainnya.  

Secara umum universitas-universitas Jerman tidak masuk 10 terbaik peringkat universitas dunia yang disusun lembaga-lembaga survey, terutama menurut Suratno, karena pemeringkatan tersebut salah satunya berdasar publikasi bahasa Inggris, sementara di Jerman banyak universitas dan pusat riset yang memang mensyaratkan publikasi mahasiswa, dosen dan penelitinya berbahasa Jerman. 

Selain itu, Jerman merupakan negara maju yang menjadi leading-country di Eropa dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang olahraga selain terkenal dengan timnas sepak bolanya yang berprestasi di banyak turnamen, juga klub sepak bola Bundesliga (Liga Jerman) seperti Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund yang beberapa hari lalu merajai Eropa dengan menjadi finalis liga Champion Eropa 2013.  

Suratno menjelaskan, selama studi di Jerman dia tidak hanya fokus dengan ‘pelajaran’ yang menjadi subjek risetnya, tetapi juga dengan pelajaran-kehidupan di Jerman seperti kemajuan ekonomi dan teknologi, juga dinamika politik, sosial, budaya, agama, olahraga dan lain sebagainya.  



Redaktur: Mukafi Niam

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Budaya PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 07 Desember 2014

Jelang Putaran Kedua Pilkada, Warga Jakarta Jangan Takut Intimidasi

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Direktorat Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) Polda Metro Jaya AKBP Anjar Gunadi mengimbau masyarakat Jakarta untuk bergembira menyongsong putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Gunadi mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada kesempatan kedua ini sesuai dengan pilihan hati masing-masing.

Demikian disampaikan AKBP Anjar Gunadi dalam tasyakuran Harlah Ke-94 NU di aula Yayasan Darul Marfu, Jalan H Zainudin, Radio Dalam, Gandaria, Jakarta Selatan, Ahad (9/4) malam.

Jelang Putaran Kedua Pilkada, Warga Jakarta Jangan Takut Intimidasi (Sumber Gambar : Nu Online)
Jelang Putaran Kedua Pilkada, Warga Jakarta Jangan Takut Intimidasi (Sumber Gambar : Nu Online)

Jelang Putaran Kedua Pilkada, Warga Jakarta Jangan Takut Intimidasi

Ia juga mengajak masyarakat untuk menghargai pilihan anggota masyarakat yang berbeda. Menurutnya, dukung-mendukung calon adalah hak dari anggota masyarakat, tetapi harus tetap berada di jalur hukum dan tuntutan nilai-nilai etika yang berlaku.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Ini zaman pilkada. Tak perlu sikut-sikutan. Tahun 2019 nanti kembali pilpres. Kita akan melewati pemilihan umum terus ke depan, tak putus-putus. Semoga masyarakat tidak bosan. Ini tuntutan demokrasi,” kata Gunadi.

Ia juga mengingatkan masyarakat agar tidak khawatir dengan pilihannya karena pihak kepolisian dan TNI akan mengawal proses pilkada Jakarta ini.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Gak usah takut. Sama setan saja kita tidak boleh takut. Setiap TPS, satu polisi dan satu TNI. Ini pesta demokrasi. Semua harus senang. Jangan sampai ketakutan. Dan jangan golput,” kata Gunadi di hadapan ratusan warga NU.

Sementara Walikota Jakarta Selatan menegaskan bahwa pilkada Jakarta ini adalah pesta demokrasi. Semua orang harus senang mengikuti pesta ini.

“Kalau ada intimidasi, laporkan ke dandim dan kapolres. Tak boleh ada intimidasi. Tak boleh menakut-takuti. Indonesia milik semua orang,” kata Walikota Jakarta Selatan.

Peringatan Harlah NU ini diawali dengan khataman Al-Quran dan ditutup dengan istighotsah. Di sela acara pengurus harian PCNU Jakarta Selatan memberikan bantuan kepada puluhan anak-anak yatim dan dhuafa.

Dalam khataman dan istighotsah yang diselenggarakan PCNU Jakarta Selatan ini tampak hadir Direktorat Kamtibmas Polda Metro Jaya AKBP Anjar Gunadi, Kapolres Jaksel Kombes Iwan, Dandim Jakarta Selatan, Walikota Jakarta Selatan Tri Kurniadi. (Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hadits PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 14 November 2014

Komunitas Ustadzah Jakarta Salurkan Bantuan Rohingya via NU Care-LAZISNU

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Forum Komunitas Ustadzah (Fokus) DKI Jakarta menyerahkan bantuan untuk Muslim Rohingya melalui NU Care-LAZISNU. Penyerahan bantuan senilai 35 juta rupiah dilakukan di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (12/9) siang.

Sekretaris Fokus, Ustadzah Umanah Hulwani mengungkapkan bantuan ini merupakan bentuk empati para ustadzah DKI Jakarta atas musibah yang dialami Muslim Rohingya.

Komunitas Ustadzah Jakarta Salurkan Bantuan Rohingya via NU Care-LAZISNU (Sumber Gambar : Nu Online)
Komunitas Ustadzah Jakarta Salurkan Bantuan Rohingya via NU Care-LAZISNU (Sumber Gambar : Nu Online)

Komunitas Ustadzah Jakarta Salurkan Bantuan Rohingya via NU Care-LAZISNU

“Dana ini hasil penggalangan selama dua pekan. Fokus ingin menggerakkan potensi yang ada,” tambah Umanah.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia menegaskan penggalangan akan terus dilakukan sehingga kesempatan bagi masyarakat yang ingin menyalurkan bantuan masih terbuka.

Direktur NU Care-LAZISNU Syamsul Huda menyambut baik upaya yang dilakukan Fokus.

“Musibah yang menimpa Muslim Rohingya memerlukan kepedulian semua pihak. Untuk itu perlu dibangun kekompakkan menyelesaikan persoalan ini,” katanya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Penggalangan dana untuk Muslim Rohingya dilakukan sejak beberapa pekan lalu melalui program NU Peduli Rohingya. Dana bantuan yang terkumpul dari program tersebut salah satunya dimanfaatkan guna membangun pasar di Rakhine, Myanmar.

Ketua LPBI NU yang juga Ketua Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) M Ali Yusuf mengungkapkan pasar penting dibuat karena fungsinya sebagai pusat kemandirian dan pemberdayaan ekonomi antar komunitas Rakhine dan Rohingya.

“Diharapkan dengan adanya pasar ini, komunitas Rohingya dan Rakhine dapat mengurangi ketegangan, dan sebisa mungkin tercapai rekonsiliasi,” kata Ali.

Untuk mewujudkan hal tersebut, sediktnya 50 stand atau kios akan dibangun di Boumay, Provinsi Rakhine. (Kendi Setiawan/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nusantara, Warta, Nahdlatul Ulama PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 11 November 2014

Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum Mencapai Angka 9.266 Kasus

Bogor, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Akhir-akhir jumlah persoalan anak di Indonesia cukup beragam. Hal yang paling menakutkan adalah Anak Berhadapan Hukum (ABH). Sepanjang tahun 2011 hingga 2017 terdapat 9.266 kasus. Dari tahun ke tahun, jumlah paling banyak yaitu pada tahun 2014. Di mana jumlah kasus ABH mencapai jumlah 2.208.

Paling tinggi kedua pada 2013 yaitu sebanyak 1.428 kasus. Tertinggi ketiga pada 1.413 kasus pada 2012.

Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum Mencapai Angka 9.266 Kasus (Sumber Gambar : Nu Online)
Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum Mencapai Angka 9.266 Kasus (Sumber Gambar : Nu Online)

Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum Mencapai Angka 9.266 Kasus

Dari kasus tersebut terdapat anak yang sebagai pelaku. Jumlahnya pun tak kalah tinggi. Tercatat, pada tahun ini anak sebagai pelaku kekerasan seksual sebanyak 116 kasus. Sedangkan anak sebanyak korban, terdapat 134 kasus merupakan anak korban kekerasan seksual.

Menurut Komisioner Bidang Trafficking KPAI Ai Maryati Solihah, kasus ABH ini ternyata menimbulkan stigma di masyarakat. Secara tidak langsung, lanjut dia, hal tersebut menjadi penyumbang kekerasan psikis terhadap anak.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Imbas paling parah dari stigmatisasi membuat anak melakukan bunuh diri," ucap Ai Maryati Solihah dalam Seminar Perlindungan Anak bersama Komisi VII DPR RI di Bogor, akhir pekan lalu.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selain itu, anak dan perempuan adalah elemen paling rawan sebagai korban kekerasan. Diperlukan pandangan baru guna menghadapi hal tersebut di mana mulai hari ini masyarakat perlu berpikir positif dan mengucapkan hal-hal positif dimulai dari diri sendiri.

Tempat yang paling mudah untuk mengawali hal tersebut adalah dalam ruang lingkup keluarga terlebih dahulu. Serta, para orang tua perlu mendukung dan mengarahkan apa yang dilakukan oleh anak. Tanpa perlu justifikasi terhadap anak. "Justifikasi dari orang tua dapat menimbulkan anak tidak percaya diri dengan apa yang dilakukan oleh anak," katanya.

Kasus lainnya yang menjadi tren di antaranya, anak sebagai korban trafficking, anak korban prostitusi, anak korban eksploitasi seks komersial dan anak sebagai korban eksploitasi pekerja. Pada 2016 terdapat 340 kasus anak yang ditangani oleh KPAI. Jumlah paling tinggi adalah anak sebagai korban prostitusi, yaitu sebanyak 112 kasus. Selanjutnya, kasus anak sebagai korban eksploitasi sebanyak 87 kasus. Sedangkan anak sebagai korban perdagangan sebanyak 72 kasus.

Terakhir adalah anak sebagai korban eksploitasi seks komersial sebanyak 69 kasus. Pada tahun ini anak sebagai korban prostitusi masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 83 orang. Selanjutnya adalah anak sebagai korban eksploitasi pekerja sebanyak 76 kasus.

"Sedangkan anak sebagai eksploitasi seks komersial sebanyak 66 kasus dan anak sebagai korban trafficking sebanyak 31 kasus," ungkapnya.

Diperlukan penanganan terbaik bagi anak, yaitu mementingkan kepentingan terbaik bagi anak tanpa ada diskriminasi. Partisipasi terbaik dari semua stakeholder dibutuhkan. Hal tersebut bertujuan guna menjaga kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Hal itu sudah dipertegas dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya  agar dapat  hidup, tumbuh, dan berkembang.

"Serta berpartisipasi secara optimal  sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta  mendapat perlindungan dari kekerasan  dan diskriminasi," pungkasnya. (Nita Nurdiani Putri/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anti Hoax, Aswaja, Ulama PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 06 November 2014

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah

Oleh: Munawir Aziz

Belajar kepada Kiai Wahab Chasbullah adalah belajar tentang semangat pergerakan kebangsaan yang tidak pernah pudar. Kiai Wahab atau Mbah Wahab, yang lahir pada 31 Maret 1888 merupakan salah satu tokoh penting dalam historiografi Indonesia, pesantren dan NU. Perannya dalam mengokohkan nilai-nilai Islam Indonesia dan menegakkan NKRI tidak bisa dilupakan. Pada momentum Hari Lahir Nahdlatul Ulama, pada 16 Rajab, sosok Kiai Wahab perlu direnungkan sebagai inspirasi.

Gerak perjuangan Kiai Wahab menjadi renungan di tengah tantangan Islam di negeri ini, dan konteks internasional.Tantangan tentang relasi Islam dan kebangsaan menjadi isu dinamis dalam diskursus global. Mencuatnya radikalisme keagamaan, sebagaimana ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) dan jaringan al-Qaeda, merupakan tantangan bagaimana umat muslim berdialog dengan konsep kenegaraan dan kebangsaannya. Apalagi, perkembangan Islam di kawasan Asia dan Timur Tengah, tidak bisa dilepaskan dari dinamika etnik dan lintas ideologi. Untuk itulah, merenungkan jejak langkah Mbah Wahab Chasbullah pada momentum hari lahir Nahdlatul Ulama, tentu menjadi inspirasi berharga.

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah (Sumber Gambar : Nu Online)
Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah (Sumber Gambar : Nu Online)

Harlah NU, Mengaji Jurus Kiai Wahab Chasbullah

Kiprah kiai-kiai pejuang dari pesantren tidak banyak tertulis dalam historiografi Indonesia. Tentu saja, politik pengetahuan menjadi instrumen utama untuk menganalisis terpinggirnya peran kiai dan tokoh pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pada abad XIX, santri menjadi barisan terdepan dalam Perang Jawa (1825-1830), yang dikomando Pangeran Dipanegara. Laskar pimpinan Kiai Maja, Kiai Hasan Besari dan Sentot Ali Basya, menyelaraskan gerakan perlawanan Dipanegara selain laskar ksatria yang Pangeran Sastradilaga. Perjuangan santri tidak banyak ditulis dalam politik ingatan, justru ditenggelamkan sebagai mitos dan ilusi.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pada masa revolusi, jaringan santri-kiai berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan serdadu kolonial. Seruan fatwa Jihad Kiai Hasyim Asy’arie (1871-1947) menggerakkan ribuan santri untuk berjuang bersama pada November 1945 di Surabaya dan peristiwa Palagan Ambarawa, Semarang (Bizawie, 2013). Lagi-lagi, peran sejarah santri ini tersisih dari naskah sejarah Indonesia modern.

Kiprah Kebangsaan Kiai Wahab

Kiai Wahab Chasbullah merupakan tokoh penting dalam perjalanan kaum pesantren menegakkan Indonesia. Ia bersama hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, menjadi garda depan dalam pembentukan jaringan pesantren pasca Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Dipanegara, yang menjadi jejaring lahirnya Nahdlatul Ulama.

Kiai yang lahir pada 1888, di Tambakberas, Jombang ini merupakan santri tulen berjiwa aktivis, tidak pernah tinggal diam melihat wajah rakyat Indonesia yang terhimpit kuasa penjajah. Ia juga tidak rela melihat komunitas santri direndahkan oleh rezim kolonial dan tradisi feodal elite priyayi negeri ini. Kiai Wahab Chasbullah menahkodai NU selepas wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, pada 1947. Kiai Wahab memimpin NU hingga tahun 1971. Rentang waktu sekitar 23 tahun tentu saja menjadi perjalanan panjang Kiai Wahab memimpin NU, di samping kiprahnya pada usia muda.

Kiai Wahab mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan pada 1916, untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia. Selanjutnya dua tahun kemudian, pada 1918, ia bersama beberapa tokoh pergerakan nasional, semisal Dr. Soetomo mendirikan Tasywirul Afkar (gerakan pemikiran), untuk mengokohkan dinamika pemikiran kebangsaan. ?

Kemudian, untuk menopang pergerakan dan perjuangan kebangsaan, Kiai Wahab mendirikan Nahdlatut Tujjar pada 1918. Gerakan ini, dimaksudkan untuk mengokohkan pondasi ekonomi bagi gerakan-gerakan sosial-kebangsaan yang diperjuangkan Kiai Wahab. Nahdlatut Tujjar dipimpin langsung oleh Kiai Hasyim Asy’arie, sedangkan Kiai Wahab sebagai sekretarisnya.

Dengan demikian, strategi gerakan Kiai Wahab terasa komplit dan seimbang. Ia membangun wawasan kebangsaan melalui Nahdlatul Wathan, dengan ditopang Tasywirul Afkar sebagai dinamika pemikiran. Selanjutnya, Nahdlatut Tujjar menjadi penggerak energi dan penopang basis ekonomi bagi gerakan sosial-kebangsaan ini.

Benteng Islam Nusantara

Kiai Wahab Chasbullah juga menjadi pionir dalam membentengi ekspansi Wahabi mellaui internasional. Ketika aliran Wahabi dari Najed Arab mulai menguasai Makkah pada 1924 dan Madinah pada 1925, Kiai Wahab bergerak mengkonsolidasi jaringan pesantren di Indonesia untuk menyuarakan aspirasi tentang Islam yang moderat dan toleran ala ahlussunnah wal-jama’ah, yang menjadi dasar gerakan NU.

Gerakan konsolidasi ini, dikuatkan dengan lahirnya NU pada 31 Januari 1926, yang kemudian mengirim Kiai Wahab dan Syekh Ghonaim al-Misri untuk menemui Raja Abdul Aziz Ibn Saud. Diplomasi Kiai Wahab ini kemudian diterima dengan baik oleh Raja Abdul Aziz, sehingga makam Nabi Muhammad tidak jadi dibongkar, serta ulama-ulama dari empat mazhab dibebaskan.

Kiai Wahab, dengan demikian tidak hanya bergerak dalam perjuangan Islam di negeri ini, ia telah berperan dalam jaringan diplomasi internasional. Peran Kiai Wahab inilah yang perlu menjadi inspirasi dalam momentum Hari Lahir Nahdlatul Ulama. Peran Kiai Wahab bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahid Hasyim, Kiai Saifuddin Zuhri dan jaringan ulama lainnya, tentu menjadi catatan penting dalam konteks dan historiografi Islam Nusantara.

Kiai Wahab mengajarkan kepada kita, agar seimbang dan kokoh dalam mengelola pergerakan;dengan membangun semangat kebangsaan (melalui Nahdlatul Wathan), mengembangkan pemikiran-pemikiran strategis (Tasywirul Afkar) dan menguatkan pondasi ekonomi sebagai energi pergerakan (lewat Nahdlatut Tujjar). Spirit Kiai Wahab inilah, yang seharusnya menjadi aspirasi bagi penerus dan pemimpin Nahdlatul Ulama, pada saat ini maupun mendatang. Bergerak dengan nyali, menyusun konsep strategis serta mengeksekusi lewat totalitas dan keikhlasan. Semoga.

Penulis adalah penulis buku ‘Pahlawan Santri’ (Pustaka Compass, Mei, 2016), Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU, dapat disapa via @MunawirAziz



Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah IMNU PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah