Senin, 10 April 2017

Gus Dur dan Pembebasan Manusiawi

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengritik kapitalisme, karena ia membaca Marxisme. Tetapi mengritik Marxisme karena membaca Gramsci. Mengamini Gramsci, Gus Dur melihat Marxisme terjebak pada ‘ekonomisme kasar’ sehingga tak melihat budaya sebagai potensi perubahan.

Dari sini Grasmcipun dikritik, karena Gus Dur membaca teologi pembebasan. Kesilapan Gramsci yang tak melihat agama sebagai potensi perubahan, membuat Gus Dur tertarik pada gerakan teologi Katolik Amerika Latin, yang mengawinkan agama dengan analisa kritis Marxian. Hanya saja, di titik inilah Gus Dur kemudian mengritik teologi pembebasan, karena ia terjebak dalam ideologi. Sifat ideologis ini yang membuat para teolog pembebasan tidak bebas lagi, karena terjebak dalam ekslusivisme gerakan. Maka tak ayal, Gus Durpun akhirnya menambatkan model gerakannya pada gerakan keagamaan berwawasan struktural, non-revolusioner.

Gus Dur dan Pembebasan Manusiawi (Sumber Gambar : Nu Online)
Gus Dur dan Pembebasan Manusiawi (Sumber Gambar : Nu Online)

Gus Dur dan Pembebasan Manusiawi

Pada poin inilah, perbincangan seputar konsepsi pembebasan (berbasis keagamaan) dalam pemikiran Gus Dur menemukan relevansinya. Satu hal yang digali oleh Syaiful Arif, dalam buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif ini. Barangkali ide-ide kiri banyak mempengaruhi dan menginspirasi sejumlah tendensi pemikiran dan langkah politik Gus Dur. Namun faktanya, pembaca Das Kapital pada usia 14 tahun ini tidak sungkan melemparkan kritik terhadap beberapa titik lemah dari sebuah aksi pembebasan serta sinisme atas ‘impotensi’ unsur kebudayaan tertentu, tak terkecuali predikasi miring Marx kepada agama sebagai ‘the opium of the people’. Bagi Marxisme, gerakan bisa dikatakan revolusioner, ketika ia meniadakan agama di dalam dirinya.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tak sebatas kritik, Gus Dur pun menggariskan bahwa model pembebasan yang hakiki adalah pembebasan yang senantiasa berakar dan terarah pada penghargaan setinggi-tingginya terhadap kehidupan sosial manusiawi (human social life) (hal. 254). Garis ide ini tidak hanya menyadari akan pentingnya sebuah gerakan pembebasan dari jerat hegemoni penindasan demi kemanusiaan, tapi juga memberi jaminan perlakuan manusiawi tetap berlangsung dalam rangkaian prosesi maupun ‘capaian final’ gerak pembebasan itu sendiri.

Tak heran, Gus Dur akhirnya memilih aksi pembebasan yang ia sebut sebagai perubahan struktural ‘tanpa Marx’, atau transformasi struktural non-revolusioner. Poin non-revolusioner menjadi penting, karena bagi Gus Dur, revolusionerisme memiliki ‘sisi gelap’, yakni memosisikan unsur kultural tidak sebagai kebudayaan yang berdiri sendiri dan berhak hidup, tapi hanya sebagai aparat ideologis bagi tercapainya revolusi (hal. 89). Dengan demikian keragaman dikorbankan demi suksesnya revolusi, yang kemudian melahirkan penyeragaman dan kelembagaan. Dari penyeragaman ini terjadi apa yang disebut Gus Dur sebagai revolusi yang tercuri (the stolen revolution) untuk menjaga dan mengonsolidasikan kehadiran satu pihak saja yang memenangkan revolusi, seperti yang terjadi pada Revolusi Iran 1979 atau ‘pencurian’ Joseph Stalin atas Revolusi Bolsjewik 1917 yang menciptakan diktator komunisme (hal.70).

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kecenderungan ideologisasi dari gerakan inilah yang dihindarkan oleh Gus Dur pada Islam, yang hanya akan menciptakan eksklusivisme dan ekstrimisme, meskipun berangkat dari ‘paradigma pembebasan’. Baginya, agama memang menyimpan kekuatan pembebasan, namun dunia memiliki mekanisme perubahan tersendiri, sehingga bahaya ketika agama diturunkan ke level ‘teknis’ (penentu), sebab ia bisa menjelma kekuasaan yang menindas atas nama ‘otoritas surga’. Ini sejalan dengan hakikat pembebasan yang ia gariskan sebagai “pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun, kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat eksistensialis (hal. 87).”

Di sinilah pentingnya meletakkan Islam sebagai etika sosial. Orientasi (pembebasan) etis yang dipegang Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah. Sehingga, sebuah gerakan akan terselamatkan dari watak ideologis. Penekanan pada watak etis ini merupakan sinambung dari pilihan strategi pembebasan Gus Dur yang tidak bersifat sosio-politis namun lebih kepada sosio-kultural (hal. 95). Keyakinan ini pernah dipraktikkan Gus Dur ketika berhadapan dengan hegemoni pembangunanisme Orde Baru, melalui usaha membangkitkan fungsi transformatif Islam sebagai kritik atas praktik penindasan, sembari melakukan kerja-kerja praksis yang terkait langsung dengan kebutuhan riil masyarakat.

Dalam kaitan inilah ide pribumisasi Islam tak melulu bersifat budaya. Bagi Gus Dur, pribumisasi Islam adalah conditio sine qua non bagi tergeraknya fungsi etis sosial dari Islam. Karena Islam sudah melerai ketegangan dengan kebudayaan -melalui pribumisasi budaya- maka Islam tak lagi terjebak dalam perjuangan simbolis, selayak formalisasi syari’at. Islam yang telah membumikan lambaran kulturnya, akhirnya bisa naik pada tataran nilai utama (Welstanschauung) dari Islam sendiri, yang tertuju pada keadilan (al-’adalah), persamaan (al-musawah), dan demokrasi (syura). Pentingnya tiga nilai ini menjadi cita utama Islam, karena Gus Dur melihat watak universal dari Islam yang melakukan perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-kulliyat al-khams) berupa, perlindungan terhadap hak hidup, berpikir, berkeyakinan, hak milik pribadi, dan kesucian keluarga. Hak dasar inilah yang menjadi tujuan utama mashlahat (ghayatul mashlahat) dan menjadi tujuan utama syari’at (maqashid al-syari’ah). Jadi, nilai keadilan, persamaan (di muka hukum), dan demokrasi adalah kondisi struktural yang harus diwujudkan demi tergeraknya perlindungan terhadap hak dasar kemanusiaan tadi.

Terma transformatif dalam buku ini menjadi epistemologi kunci bagi kelahiran ide-ide ‘segar’ dan sejumlah aksi perjuangan Gus Dur baik yang menyentuh wacana keagamaan, kebudayaan, maupun ilmu sosial. Ada kesan, penulis berusaha melampaui mainstream tipologisasi atas corak intelektualisme Gus Dur. Banyak kritik disasarkan pada sejumlah ‘bias paradigmatis’ para peneliti saat mengotakkan pemikiran Gus Dur pada isme-isme tertentu. Kendati demikian, kritik tersebut sejatinya tidak sampai menganulir secara radikal, sebab yang berbeda dari ‘temuan baru’ ini dengan? beberapa paham yang dialamatkan pada Gus Dur sebelumnya, semacam liberalisme, sekularisme, neo-modernisme, pluralisme, atau pribumisasi Islam, terletak pada cita utama? dan arah gerakan pemikiran Gus Dur. Kalau yang lain memahami watak pemikirannya sebagai kesadaran pembaruan atas ‘keloyoan’ tradisi, maka watak transformatif mengandaikan pembaruan tersebut tak ubahnya ‘jembatan’ yang terhubung dengan cita pembebasan dari struktur politik otoriter yang tidak memihak.

Buku ini menawarkan prespektif baru atas gagasan Gus Dur. Lewat buku ini kita akan menemukan sosok Gus Dur sebagai intelektual organik yang mampu menyiapkan basis teoritis bagi gerakan (Islam) pembebasan. Sebuah gerak yang dipraksiskannya selama memimpin NU vis a vis Orde Baru. Tak ayal, Gus Dur bukan an sich politisi kawakan yang selalu kalah dalam ring politik praktis, tetapi satu pioneer bagi gerakan teologi pembebasan di Indonesia, yang secara diskursif melakukan kritik atas perselingkungan pengetahuan dalam pembangunanisme. Seperti dijelaskan oleh pengantar Prof. Taufik Abdullah dalam buku ini, Gus Dur adalah penggerak ilmu sosial sebagai wacana kritis (critical discourse), yang secara cantik menggunakan pemikiran Islam sebagai counter discourse atas bangunan negara-sentrisme ilmu sosial. Sebuah buku yang menarik, yang memetakan ulang ideologi dan kekuasaan di Indonesia, serta bagaimana masyarakat sipil—terepresentasi oleh Gus Dur dan NU—menghadapinya berdasarkan kekayaan Islam di Indonesia.

Data Buku

Judul buku: Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif, Sebuah Biografi Intelektual

Penulis: Syaiful Arif

Penerbit: Koekoesan, Depok

Terbit: Juli 2009, cetakan I

Halaman: xiv+330, 14 x 21 cm

Peresensi: Mahbib Khoiron, santri Pesantren Ciganjur



* Resensi ini pernah dimuat di Harian Seputar-Indonesia, 8 Agustus 2009


Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Amalan, Santri, Tokoh PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sowan Kiai, GP Ansor Solo Diwejangi Ikut Nguri-Uri NU

Solo, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Pengurus Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kota Surakarta bersilaturahim ke sejumlah sesepuh, kiai, dan habaib di Kota Solo dalam beberapa hari di pekan ini. Paling terbaru, mereka berkunjung ke salah satu sesepuh Masjid Tegalsari, KH M Idris Shofawi.

Menurut Ketua (Plt) PC GP Ansor Surakarta, Arif, kegiatan ini merupakan program awal yang dilakukan pengurus baru, sekaligus untuk meminta doa restu dari para ulama.

Sowan Kiai, GP Ansor Solo Diwejangi Ikut Nguri-Uri NU (Sumber Gambar : Nu Online)
Sowan Kiai, GP Ansor Solo Diwejangi Ikut Nguri-Uri NU (Sumber Gambar : Nu Online)

Sowan Kiai, GP Ansor Solo Diwejangi Ikut Nguri-Uri NU

“Beberapa tokoh lain yang disowani antara lain KH A. Muid Shofawi di Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, KH Abdul Karim di Pesantren Alquraniyy dan Habib Novel Alaidrus,” terang Arif, Selasa? (3/1).

Destinasi pertama, yakni Pengasuh Majelis Ar-Raudhah yang juga Penasihat PC GP Ansor Kota Surakarta, Habib Novel Alaidrus. Dalam sambutannya, ia berterima kasih atas bantuan yang senantiasa diberikan oleh para sahabat Ansor.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sebagai wujud apresiasinya, ia memiliki rencana untuk memberikan hadiah umrah bagi anggota Ansor atau Banser. “Hadiah umrah bagi anggota Banser melalui sorban nusantra biro umrah dan haji yang dimiliki Ansor,” terang Habib Novel.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Begitu pula ketika mereka sowan kepada KH Abdul Karim Ahmad. Kiai yang akrab disapa Gus Karim tersebut memberikan motivasi dan dorongan untuk lebih baik lag. “Semoga selalu setia mengabdi dalam nguri-uri (menghidupkan) NU solo,” tuturnya. (Ajie Najmuddin/Abdullah Alawi)Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ulama, Warta PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 07 April 2017

Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah

Oleh Muhammad Syamsudin

Dewasa ini marak berkembang jasa-jasa produk perbankan syari’ah, seperti obligasi syariah, reksadana syariah, efek syari’ah, saham syari’ah, dan lain sebagainya. Semangat dari pendirian perbankan syariah di Indonesia ini adalah tidak luput dari karena adanya perhatian terhadap mayoritas penduduk Indonesia yang didominasi oleh umat Islam.

Hal ini berbuntut kepada kewajiban dari seorang presiden (imam) dan/atau yang mewakilinya untuk menjaga kualitas diri masyarakat yang dinaunginya dalam bingkai ajaran agamanya, sebagaimana hal ini disinggung dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara melindungi dan menjamin pelaksanaan setiap pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dalam bingkai masyarakat yang terdiri atas umat Islam, menandakan bahwa kewajiban negara tersebut adalah mengupayakan agar perjalanan syariat agama khususnya dalam bidang muamalah yaumiyah warganya berlangsung sesuai dengan konsep ajarannya. 

Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah (Sumber Gambar : Nu Online)
Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah (Sumber Gambar : Nu Online)

Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syari’ah

Terkait dengan masalah tersebut, maka dalam bidang keuangan dan sirkulasi muamalah warganya, negara berkewajiban menyediakan fasilitas yang bisa membebaskan warganya dari praktik-praktik yang dilarang oleh syariat. Suatu misal, adalah konsep riba. Dengan demikian, maka wujud tanggung jawab negara terkait dengan upaya membebaskan warganya dari praktik riba ini, maka ia harus menyediakan sebuah badan/jasa keuangan yang zero riba.

Inilah pangkal utama berdirinya perbankan syariah yang secara lahiriah bertolak belakang dari perbankan konvensional yang justru melegalisasi riba (bunga) namun dalam konstruk yang terukur. Semangat dari kedua model perbankan ini sebenarnya adalah sama, yaitu membawa kemaslahatan bagi warga negara Indonesia. Hanya saja, untuk perbankan syariah lebih mengerucut lagi yakni kemaslahatan umat Islam dan menyediakan jasa bebas riba (zero riba). Dengan demikian, bank/jasa keuangan syariah, dalam hal ini jelas meneguhkan standing point-nya sebagai antitesa dari bank konvensional. Ia merupakan kebalikan. Jika merupakan kebalikan, maka keduanya tentu ada pangsa saing. Daya saing mutlak harus dikembangkan selama tidak keluar dari rel utama kemaslahatan dan bingkai ajaran.

Permasalahan utama peningkatan daya saing lembaga dan produk jasa syariah ini sebenarnya adalah bagaimana ia melakukan upaya menghidupi lembaga/jasa syariah ini, padahal ia harus bebas bunga? Jika dalam bank konvensional, keberadaan bunga merupakan bagian dari upaya financing terhadap perbankan, sementara dalam bank syariah harus diambil darimana?

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tentu jawabnya adalah dari usaha yang dipandang legal oleh syariah. Hasil dari usaha tersebut bisa membawa kepada ribhun atau laba yang secara mutlak adalah sah dalam bingkai fiqih. Dengan demikian, ruang lingkup usaha lembaga ini pasti tidak jauh dari akad musyarakah, murabahah, mudlarabah, mudayanah (kredit), qardlu, ijarah, istishna’ (penciptaan lapangan usaha/padat karya) dan mubaya’ah (jual beli). Unsur akad lain sebagai penopang adalah dlaman, ju’alah, hiwalah, wakalah dan kafalah

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari kesekian akad yang secara resmi mendapatkan legalitas syari’at tersebut, pihak perbankan syari’ah masih harus memilih lagi, yakni manakah di antara kesekian produk akad syariah yang memiliki sekuritas (jaminan usaha) yang aman bagi finansial dan funding perbankan. Mengapa? Sekali lagi adalah karena ia harus tetap berada dalam konteks zero riba, aman terhadap eksistensi lembaga, serta maslahah bagi pengguna (nasabah).

Dalam konteks mudayanah (hutang piutang/kredit), misalnya. Jika dalam bank konvensional, pihak pihak bank langsung menentukan rasio bunga setiap bulannya kepada nasabahnya. Padahal jelas, konsep ini dilarang oleh syariat. Dengan demikian, pihak perbankan syariah harus memakai konsep apa untuk menggantikan rasio suku bunga ini (rate of interest) ini? Apakah dengan murabahah (bagi hasil)? Jika memaksakan diri dengan akad murabahah, berarti pihak bank memberi beban margin pembagian hasil usaha dengan pihak nasabah.

Jika demikian, apa bedanya dengan lembaga perbankan konvensional? Jika perbankan konvensional berbeban bunga, sementara perbankan syari’ah berbeban margin. Secara produk, jika memakai murabahah ini, tentu daya saing perbankan syari’ah akan dipandang kalah oleh nasabah, dan nasabah akan banyak lari ke perbankan konvensional, karena efek jumlah total akhir margin pembagian yang bisa melebihi suku bunga yang harus ditanggung nasabah dari perbankan konvensional. Inilah yang menyebabkan kemudian perbankan syariah tidak memperkenalkan akad mudayanah dan qardlu ke dalam bagian produk jasa syari’ahnya karena faktor risiko terhadap perbankan, khususnya dalam konteks bisnis (mu’awadah). 

Pelarian kepada akad mudlarabah dan musyarakah ternyata juga membawa masalah bagi pihak penyedia jasa syariah. Mengapa? Karena selama ini yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah menjamin keamanan dan keuntungan terhadap dana nasabah. Jaminan keamanan ini dalam jurisprudensi fiqih seharusnya tidak ditemukan, karena dalam konteks mudlarabah, adanya untung rugi merupakan tanggung jawab bersama. Kenyataannya, apa mungkin hal tersebut diberlakukan pada nasabah? Ini juga menjadi bagian permasalahan dalam bank syariah, karena bank syariah dalam ajang kompetisinya dengan bank konvensional, ia juga harus menawarkan janji kepada nasabah sebagai yang akan selalu untung. Akibatnya, tidak mungkin bagi bank untuk berbagi kerugian dengan pemilik modal (nasabah). Ini konsep yang selain membuat beban bagi bank juga tidak ditemukan dalam konsep fiqih.

Dalam suatu akad musyarakah, pihak pemodal (shahibul mâl) umumnya adalah berasal dari kedua pihak antara ‘amil dan shahibul mâl. Realitas di lapangan, pihak perbankan hanya berlaku sebagai pihak wakil dari ‘amil. Ia hanya berperan dalam mengatur dan mengorganisasikan modal tersebut ke unit-unit usaha tempat investasi (menanamkan modal). Dalam konteks ini, akad yang berlaku antara bank dan shahibul mâl adalah wakalah. Efek berantainya, adalah terjadi dua akad atau lebih dalam satu transaksi antara perbankan dan nasabah. Ini juga yang membuat dilema bagi perbankan syariah.

Berbagai dilema ini akan senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman. Jika perbankan syari’ah tidak bisa mencari solusi bagi permasalahannya tersebut dengan tetap menyesuaikan diri dengan iklim kompetisi dengan perbankan konvensional, maka lambat laun ia akan ditinggalkan oleh nasabah. Lantas di mana letak unsur kemaslahatannya bagi umat, yang padahal dalam konsep ajaran Islam, adalah: al-Islâmu ya’lu wa lâ yu’la ‘alaih, yang artinya Islam itu unggul dan tidak terkalahkan keunggulannya? Pemikiran semacam ini yang musti disadari oleh semua kalangan demi merawat konsepsi syari’ah yang sudah terlanjur digulirkan demi kemaslahatan umat Islam pada umumnya di Negara Indonesia tercinta ini. 

Walillaahu al-musta’an!

Penulis adalah pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahlussunnah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 06 April 2017

PBNU Gelar Sholat Ied Di Halaman Gedung

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) menggelar pelaksanaan Sholat Ied berjamaaah. Sholat akan di laksanakan di depan halaman gedung hingga memakan halaman jalan Kramat Raya.

Pelaksanaan sholat? Ied berjamaah di hari minggu setelah Lajnah Falakiyah memutuskan bahwa berdasarkan perhitungan hisab, puasa akan disempurnakan atau diistikmalkan menjadi 30 hari karena posisi hilal belum memenuhi syarat untuk bisa dirukyat.

Soal khatib dan imam, H. Syamsuddin, pengurus LDNU kepada PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah,? Minggu (14/11) mengungkapkan yang akan menjadi khatib untuk sholat Ied adalah KH Asrori Abdul Karim SH. Mhum., salah seorang pejabat Depag pusat. Imam sholat akan dipimpin oleh Ikhwanuddin dari PTIQ. Seperti tahun-tahun lalu, sholat Ied ini dihadiri para penduduk disekitar Gedung PBNU selain para pengurus PBNU. Juga terdapat rombongan dari majelis taklim binaan LDNU yang berasal dari Pondok Gede Bekasi. Setiap tahun mereka mengirimkan jamaahnya sebanyak 2 bis.

Sementara itu malam hari menjelang Ied juga dimeriahkan dengan pelaksanaan takbir di gedung PBNU. Para kader LDNU dan penduduk sekitar menyemarakkan acara takbiran yang dimulai bada Isya hingga jam 12 malam. Usai sholat Ied, akan dilaksanakan silaturrahmi antar pengurus PBNU dengan jamaaah untuk saling meminta maaf atas kesalahan yang terjadi selama ini. (cih)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pertandingan PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

PBNU Gelar Sholat Ied Di Halaman Gedung (Sumber Gambar : Nu Online)
PBNU Gelar Sholat Ied Di Halaman Gedung (Sumber Gambar : Nu Online)

PBNU Gelar Sholat Ied Di Halaman Gedung

Rabu, 05 April 2017

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah

Bandarlampung, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah?



Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung Suryani M. Nur mengajak umat Islam untuk menjaga ukhuwah islamiyyah. Ia menyatakan hal itu saat menjadi narasumber pada Obrolan Santai (Obras) di Swiss-Belhotel International Bandar Lampung, Jumat (26/5).

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)
Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah (Sumber Gambar : Nu Online)

Bersatu Aqidah, Istiqomah Ibadah, dan Toleransi Khilafiyah

Umat Islam, menurutnya, memiliki aqidah yang sama dan diharapkan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan hatinya serta mengedepankan toleransi di tengah berbagai perbedaan pandangan agama yang ada.

"Mari bersatu dalam aqidah, istiqomah dalam beribadah dan toleransi dalam khilafiyah," kata Suryani yang juga Ketua Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah NU (LAZISNU) Provinsi Lampung ini.

Terlebih di bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci penuh berkah ini, ia mengajak umat Islam untuk introspeksi dan berusaha memperbaiki diri. Selain itu memaksimalkan kualitas dan kuantitas ibadah juga perlu dilakukan agar kesempatan kemuliaan Ramadhan tidak dilewatkan dengan sia-sia.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Mari perbaiki diri di bulan suci ini. Raih sejahtera di bulan penuh rahmat ini menuju taubat di bulan penuh ampunan ini," ajak tokoh yang juga masih menjabat Ketua Umum MUI Kota Bandarlampung ini.

Hal ini, lanjutnya, ditujukan agar target dan tujuan berpuasa dapat tercapai yakni menjadi orang bertakwa yang dapat mengimplementasikan kesalehan individual dan sosial serta bermanfaat bagi sesama menuju ridlo Allah SWT.

Hadir juga menjadi narasumber pada kesempatan tersebut, H. Seraden Nihan MH yang merupakan Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bandar Lampung. Acara ini dipandu oleh salah satu presenter tv swasta di Lampung, Yudith Samantha. (Muhammad Faizin/Abdullah Alawi)

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah News, Santri, Nahdlatul Ulama PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 03 April 2017

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman?

Assalamu’alaikum wr. wb

Redaksi Bahtsul Masail PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang terhormat, terlebih dahulu saya mohon maaf. Sebenarnya ini adalah pertanyaan dari teman saya yang baru masuk Islam. Ia punya saudara laki-laki masih nonmuslim dan belum lama meninggal dunia. Yang ia tanyakan, apakah ia boleh ikut memandikan jenazahnya dan mengiringinya ke pemakaman? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr. wb. (nama dirahasiakan/Medan)

Jawaban

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman? (Sumber Gambar : Nu Online)
Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman? (Sumber Gambar : Nu Online)

Memandikan dan Mengiringi Jenazah Kerabat non-Muslim ke Pemakaman?

Assalamu’alaikum wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Jika ada seorang muslim meninggal dunia, ia berhak untuk dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan. Kewajiban mengurus jenazah itu tentunya dibebankan oleh orang muslim yang hidup. Sampai di sini jelas tidak ada persoalan, semuanya klir.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Lantas bagaimana jika yang meninggal dunia adalah orang nonmuslim? Menshalatinya jelas diharamkam sebagaimana ditegaskan Al-Qur`an dan ijma’ para ulama. Demikian sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Adapun menshalati jenazah orang kafir dan memintakan ampun untuknya, hal itu adalah haram sebagaimana ketetapan nash Al-Qur`an dan ijma` ulama,” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Kairo-Dar al-Hadits, 1421 H/2010 M, juz, V, h. 190).

Lantas, bagaimana dengan memandikan, mengiringi jenazah orang kafir, dan ikut memakamkannya? Dalam hal ini para pakar hukum Islam (fuqaha`) berselisih pendapat. Tetapi, menurut pendapat madzhab Syafi’i hal tersebut diperbolehkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab berikut ini.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?. “Tentang memandikan jenazah orang kafir, kami telah menyebutkan bahwa pendapat madzhab kami menyatakan, orang muslim boleh memandikan jenazah orang kafir, mengubur, dan mengiringi jenazahnya. Ibnul Mundzir menukilnya dari kelompok rasionalis (ashhab ar-ra’y) dan Abi Tsaur. Sedangkan menurut Imam Malik dan Ahmad, orang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan jenazah orang kafir. Tetapi Imam Malik menyatakan, ia (muslim) boleh ikut menguburnya,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz, V, h. 195).

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

(Mahbub Ma’afi Ramdlan)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahlussunnah PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 02 April 2017

Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta

Jakarta, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi mendukung pengajian rutin ? Muslimat NU DKI Jakarta. Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi menyatakan apresiasinya terhadap gerakan sosial-keaagamaan Muslimat NU DKI Jakarta.



Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta (Sumber Gambar : Nu Online)
Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta (Sumber Gambar : Nu Online)

Jokowi Dukung Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta

Dukungan itu disampaikan langsung oleh Gubernur DKI Jakarta dalam sambutan peringatan maulid Nabi Muhamad SAW di muka masjid Al-Jihad kantor PWNU Jakarta Pusat, Sabtu (9/2) siang.

Demikian dikatakan oleh Sekretaris PW Muslimat NU DKI Jakarta Maghfiroh, Sabtu (9/2) sore. Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta rutin diadakan satu kali dalam sebulan di halaman kantor PWNU Jakarta, jalan Talang nomor 3, Jakarta Pusat.

“Pengajian Muslimat NU DKI Jakarta diharapkan turut serta dengan Pemda DKI Jakarta dalam menciptakan pemberdayaan dan ketenteraman masyarakat khususnya di DKI Jakarta,” kata Jokowi yang dikutip oleh Maghfiroh.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Seperti dikutip Maghfiroh, Jokowi menambahkan bahwa Muslimat NU DKI Jakarta selama ini telah menunjukkan kontribusinya dalam pembangunan sosial DKI Jakarta. Muslimat NU Jakarta belakangan melibatkan diri secara konkret dalam penanganan bencana banjir pada sebagian titik di Jakarta.

Dalam sambutannya, Jokowi sempat menjanjikan 3 buah sepeda bagi jamaah Muslimat NU DKI Jakarta yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Gubernur, tutup Maghfiroh.

?

Foto: Jokowi ketika bersilaturrahim ke kantor PBNU

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Penulis: Alhafiz Kurniawan

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Meme Islam PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah