Rabu, 29 Desember 2010

Penyandang Disabilitas Gerakkan Biro Hukum dan Advokasi Muslimat NU Lasem

Fatimah Asri merupakan satu perempuan dari puluhan pengurus harian Muslimat NU Lasem periode 2015-2020. Ia ikut dilantik di SMK NU Lasem kabupaten Rembang pada 11 Oktober 2015 lalu. Dirinya mewakili kaum difabel yang memunyai tekad kuat untuk ikut memperjuangkan ajaran Aswaja melalui bendera Muslimat NU Lasem.

Fatimah Asri seorang penyandang difabel. Pada tahun 1994 sebuah kecelakaan menyebabkan ia kehilangan kedua tangannya. Kepada PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah, perempuan yang akrab disapa “Aci” itu bercerita kisah singkat hidupnya.

Penyandang Disabilitas Gerakkan Biro Hukum dan Advokasi Muslimat NU Lasem (Sumber Gambar : Nu Online)
Penyandang Disabilitas Gerakkan Biro Hukum dan Advokasi Muslimat NU Lasem (Sumber Gambar : Nu Online)

Penyandang Disabilitas Gerakkan Biro Hukum dan Advokasi Muslimat NU Lasem

Ia, dalam penuturannya, sudah aktif menjadi NU sejak duduk di bangku di salah satu sekolah negeri di SMA Bandung, Jawa Barat. Selain itu Aci merupakan perempuan yang dibesarkan di keluarga yang berlatar belakang nahdliyin.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Saya sudah aktif di NU sejak saya sejak saya masih SMA, dan juga keluarga saya merupakan keluarga yang mempunyai latar belakang NU. Sehingga meski dalam kondisi seperti ini tidak mengurangi niatan saya untuk ikut berjuang di NU.”

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Aci juga sangat menikmati aktivitas di organisasi. Berkat dorongan keluarga, para sahabat, dan rekan seperjuangan di organisasi NU. Ia sudah bertekad, meski dalam kondisi yang sekarang, tidak akan menyurutkan niat untuk berorganisasi yang ia geluti sejak dirinya masih remaja.

"Saya sangat menikmati sekali kegiatan di organisasi. Semua itu berkat dorongan dan dukungan dari suami, keluarga besar serta sahabat seperjuangan yang ada di organisasi.”

Bukan hanya di Muslimat NU, tetapi Aci juga menjadi pengurus aktif Fatayat NU Lasem. Amanah yang dipercayakan kepada seorang penyandang difabel seperti Fatimah Asri juga merupakan jabatan yang sangat penting, Biro Hukum dan Advokasi baik di Muslimat NU maupun Fatayat NU.

Ia berharap kepada para penyandang difabel yang ada di kalangan NU tidak berkecil hati. Ia mengajak mereka untuk ikut serta berorganisasi dan tetap semangat untuk memperjuangkan NU.

?

* Ahmad Asmui, kontributor PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk Rembang

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Olahraga PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 28 Desember 2010

Santri Darul Ulum Pasuruan Baca Ratna Indraswari Ibrahim

Pasuruan, PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Ada yang pernah mendengar nama Ratna Indraswari Ibrahim?” tanya saya kepada 127 santri putri, berusia sekitar sebelas hingga tujuh belas tahun, Pondok pesantren Darul Ulum, Karangpandan, Pasuruan Senin (23/9). 

Santri Darul Ulum Pasuruan Baca Ratna Indraswari Ibrahim (Sumber Gambar : Nu Online)
Santri Darul Ulum Pasuruan Baca Ratna Indraswari Ibrahim (Sumber Gambar : Nu Online)

Santri Darul Ulum Pasuruan Baca Ratna Indraswari Ibrahim

Tidak ada jawaban. Hening. Mereka saling menoleh. Beberapa dari mereka nampak berusaha keras memanggil memori tentang nama yang saya tanyakan tadi. Tapi tak ada hasil. 

Suasana ruang belajar TK Ponpes Darul Ulum yang mereka sesaki mulai riuh, beberapa santri mulai berkomentar masygul, “Saya tidak kenal dengan nama itu,” “Tak oneng…, “Apakah dia pengurus Muslimat?”, “Atau  jangan-jangan dia itu alumni pondok kita” 

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Itu beberapa komentar yang saya dan Titik Qomariyah, kawan saya, yang sempat terekam. Kami tersenyum. Satu misi terlaksana dengan baik, yaitu membuat mereka penasaran.

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Itulah salah satu cara membuka klinik baca-tulis di hadapan para santri pondok. Bukan semata melemparkan pertanyaan, tetapi membangun rasa ingin tahu mereka. Mulailah saya dan Titik bergantian menampilkan slide show presentasi tentang Ratna Indraswari Ibrahim, penulis yang sudah berpulang ke Rahmatullah, 28 Maret 2011 di usia 61 tahun. 

Ratna adalah penulis yang hampir sepanjang usianya menghabiskan waktunya di atas kursi roda karena radang rachitis yang menyerangnya saat ia menjelang pra remaja. Penyakit yang membuat kaki dan tangannya mengecil hingga tak mampu berkatifitas normal layaknya orang lain. Makan, minum, mandi, dan kebutuhan mobilitasnya banyak dibantu oleh orang lain. Tetapi keterbatasan itu mengalirkan energi untuk menghasilkan ratusan cerpen dan puluhan novel yang salah satunya, 1998, bisa mereka baca secara bergiliran. 

Sampai di sini suasana kelas jadi riuh, bermacam komentar mulai muncul dari para santri. Mulai dari komentar simpati hingga keheranan yang tak henti. “Bagaimana ia menulis atau mengetik?”, “Bagaimana ia bisa menghasilkan banyak tulisan?”Dua pertanyaan itu yang paling banyak mereka lontarkan. 

Saya berkata pada mereka, “Lihat kedua tangan dan kaki kalian. Lengkap dan normal. Kalian bisa menghasilkan ribuan tulisan, baik itu cerpen, puisi, bahkan novel sekalipun. Kalian tidak hidup di atas kursi roda seperti almarhumah dan bebas bergerak kemana saja,”

Kelas pun jadi hening. Saya dan Titik memang hendak membuat mereka menyadari potensi mereka untuk menulis bisa dimulai kapan saja karena mereka punya semua modal, yang bahkan tidak dimiliki oleh seorang Ratna. Hanya butuh niat, dan itu gratis.

Setelah itu saya membacakan puisi Ibu karya D. Zawawi Imron dan satu cerita jenaka yang berjudul ‘Kado Untuk Nenek’ untuk memancing imajinasi mereka. Saat saya tanya apa yang kalian ketahui tentang Zawawi Imron, mereka serentak menjawab: Ustad! 

Saya dan Titik tergelak sembari mengangguk-angguk karena mulanya kami menebak mereka akan menjawab: sastrawan. Mengingat sebelumnya saya sudah membacakan puisi Ibu karya Zawawi Imron. 

Di akhir acara saya diberitahu pengasuh pesantren, Gus Haidar Hafeez bahwa Kiai Zawawi Imron yang sastrawan itu datang berkunjung dan memberi tausiyah pada mereka. Ah, mereka memang tidak salah. Sastrawan asal Batang-Batang, Sumenep itu nyatanya memang ustad.

Sesi berikutnya saya dan Titik membagikan kertas untuk mereka. Apa saja bisa mereka tulis di sana. Puisi, cerita singkat tentang diri dan lingkungan mereka, atau buku yang baru saja mereka baca. Tak lebih dari 15 menit, mereka membuat kami kewalahan karena mereka menulis lebih cepat dari apa yang kami pikirkan dengan hasil tulisan yang membanggakan. 

Umumnya tulisan mereka kental dengan kalimat-kalimat relijius, muncul latar-latar tempat lokal dan kental nuansa santri berikut lingkungan pondok. Bagi saya, ini awal yang baik, karena menulis sejatinya adalah merawat kehidupan. Turunnya Al Qur’an yang disampaikan secara lisan kepada Nabi Muhammad SAWsdan kemudian dituliskan, sebenarnya secara implisit memerintahkan umat untuk aktif membaca sekaligus menulis. Apalagi ayat pertama yang diturunkan Allah Swt adalah “iqra” (Bacalah).

Di sesi pamungkas, kami memberi mereka kenang-kenangan sekadarnya bagi enam tulisan terbaik dan sepakat menulis review tentang Ratna Indraswari Ibrahim, yang akan kami baca bersama-sama pekan ini. Tentu teriring lantunan Al Fatihah untuk almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim. Spiritmu kutebar diantara para santri, mbak Ratna, tunggu, mereka tengah menyiapkan tulisan yang akan bisa kau baca dari tempatmu di sana…Gema #SastraSantri mulai kami kumandangkan dari sini, dari lingkungan kami yang hendak merawat kehidupan melalui pena…(Ari Ambarwati/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah Aswaja PP Muhammadiyah - Pimpinan Pusat Muhammadiyah